Malam itu, seorang pria setengah baya berdiri di antara pohon beringin kembar di tengah alun-alun utara Yogyakarta. Ditangkupkannya kedua belah tangan di depan dada, bibirnya bergerak membisikkan doa. Sebentar kemudian diraihnya kantung plastik di bawah kakinya, segenggam demi segenggam kembang dari dalamnya ditaburkan dari bawah beringin yang satu hingga ke bawah beringin yang lain. Ia kemudian menghadap ke utara, melempar beberapa koin logam ke tanah, menangkupkan tangan sambil membungkukkan badan lalu beranjak pergi.
Bagi sebagian orang, tindakan pria ini mungkin wajar. Bagi sebagian yang lain, tindakan ini mungkin dianggap aneh, menyeramkan, tak masuk akal, atau bahkan murtad. Pandangan-pandangan yang berbeda terkait tindakan pria ini memberikan sedikit gambaran mengenai apa yang dijabarkan sebagai kodrat manusia, dan apa yang merupakan hasil proses sosio-kultural yang dialaminya.
Semisal, adalah kodrat manusia untuk memiliki suatu struktur mental umum yang kemudian membuatnya disebut mahkhluk berakal budi. Hal ini salah satunya memungkinkan manusia untuk membangun konsep dan mengonstruksikan mitos. Kodrat manusia ini, meski pada dasarnya sama, akan berkembang secara berbeda dalam level masyarakat atau bahkan individu yang beragam karena adanya perbedaan proses sosio-kultural, proses historis, juga kondisi geografis di mana manusia tinggal. (Parekh, 2008)
Tindakan yang dilakukan pria dalam ilustrasi di atas mencerminkan suatu sistem kepercayaan yang mungkin tidak (lagi) dianut oleh para penganut agama mayoritas. Sehingga, dengan mudah ia dapat diidentifikasi sebagai “berbeda”, “bukan bagian dari kita”, atau bahkan diberi label “aneh”. Namun, tindakan ini sesungguhnya justru mencerminkan kodratnya sebagai manusia dengan kapasitas untuk berpikir, berkehendak, dan berperasaan (Parekh, 2008). Bahwa ia sesungguhnya sama dengan seluruh bagian umat manusia yang lain dengan kecenderungan untuk menemukan/merasakan adanya hubungan dengan ‘sesuatu’ yang transenden, meskipun kemudian perwujudan dari kecenderungan yang sifatnya kodrati ini dapat berbeda. Selain itu, penilaian yang mungkin dilakukan oleh masyarakat terhadap tindakan si pria adalah juga bagiandari kapasitas yang dimiliki manusia, meski lagi-lagi, bentuk-bentuk penilaian ini dapat beragam karena berbagai faktor dalam level masyarakat maupun individu.
Memang tidak mudah untuk memberi garis batas yang jelas antara yang kodrat dan bukan kodrat. Sebab dalam upaya menyingkap kodrat manusia, sangat sulit untuk melepaskan apa yang sudah alamiah dan apa yang dibuat manusia atau lingkungan sosial. Sebagai peserta aktif dari evolusi, manusia mengalami perkembangan-perkembangan dalam struktur fisik dan mental dengan ciri tertentu, dengan perbedaan dan persamaan dengan spesies-spesies makhluk hidup lain. Dalam perkembangan ini, manusia mengubah diri dan dunianya, mengembangkan bentuk-bentuk baru organisasi sosial, dan karenanya memperoleh pula kapasitas-kapasitas dan dorongan-dorongan baru. (Parekh, 2008) Sehingga, ketika kodrat kemudian didefinisikan sebagai kapasitas, sifat, dan dorongan umum yang dimiliki manusia (Parekh, 2008), semakin sulit pula untuk memilah sifat-sifat yang kodrati dan yang tidak. Semisal, kita tak pernah dapat memutuskan dengan pasti apakah kecenderungan manusia untuk menemukan sesuatu yang transenden adalah kodrat, atau sekadar hasil kombinasi dari kemampuan berpikir dan proses sosio-kultural-historis yang dijalani.
Selama ini, dominasi dari paham monisme yang mendasari berbagai tradisi filsafat moral dan politik telah mendorong pola pikir yang kurang memberikan penghargaan terhadap kedalaman dan pentingnya perbedaan kultural (Parekh, 2008). Tradisi-tradisi ini didasari oleh asumsi berikut (Parekh, 2008):
1.Keseragaman kodrat manusia
2.Keutamaan ontologis tentang kemiripan atas keberbedaan
3.Karakter sifat manusia yang transenden secara sosial
4.Keseluruhan kemampuan pengetahuan tentang kodrat manusia
5.Kodrat manusia sebagai dasar kehidupan yang baik
Sementara itu, usaha-usaha untuk menjelaskan perihal kodrat manusia, cenderung parsial dan bias. Kita tidak dapat melupakan bahwa para filsuf yang berusaha menjelaskan hakikat dari kodrat itu sendiri merupakan bagian dari masyarakat, dan dalam usahanya untuk menjelaskan apa yang alamiah dan yang tidak, tentu tidak terlepas dari nilai-nilai yangdibawa dan melekat padanya (Parekh, 2008).
Kesulitan-kesulitan ini mengarahkan kita pada pemahaman bahwa memandang manusia hanya dari sifatnya sebagai anggota suatu spesies tentu terlalu picik dan sempit. Alternatif lain pun ditawarkan, yakni, untuk mengartikulasikan manusia pada tiga dimensi yang berlainan: (1) individual (sebagaimana ada dalam filosofi Hindu dan Buddha), menyangkut keterlibatan mereka sebagai individuyang reflektif; (2) komunitas kultural (sebagaimana terdapat dalam filosofi tradisional Cina), terkait apa yang mereka peroleh dan bagikan sebagai anggota-anggota masyarakat; (3) spesies manusia (sebagaimana dibahas dalam pemikiran Barat selama berabad-abad), menyangkut sifat-sifat umum yang dimiliki sebagai bagian dari umat manusia. (Parekh, 2008)
Di sini, kita mulai dapat melihat bahwa manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Tidak ada teori teori tentang umat manusia yang mampu memberikan suatu pemikiran penuh tentang mereka kecuali disertai oleh teori tentang budaya, dan begitu pula sebaliknya. Menjadi manusia berarti menjadi bagian dari satu spesies umum sekaligus bagian dari satu kebudayaan yang khas, di mana yang satu ada hanya karena ada yang lain. Umat manusia tidak secara langsung menjadi bagian dari spesies yang umum melainkan melalui mediasi kultural. Sebaliknya, keterlibatan mereka sebagai anggota komunitas kultural hanya dimungkinkan karena keanggotaan mereka sebagai spesies umum. Secara dialektis, kemiripan dan keberbedaan manusia saling terkait (Parekh, 2008)
Pandangan yang demikian menghantar kita pada suatu pemahaman yang lebih netral. Konsep-konsep ekstrem seperti naturalistik yang menyamakan semua manusia berdasar kodratnya sebagai suatu spesies, atau kulturalisme yang memberi penekanan pada determinisme kultural jelas tidak mampu memberi pemahaman yang koheren mengenai keanekaragaman moral dan kultural. Dalam memandang manusia, kita mengakui universalitas dan kekhasan mereka, dan karenanya sadar pula akan kewajiban kita untuk menghormati keduanya, yakni humanitas yang dimiliki bersamasekaligus keberagaman kultural yang menyertainya. Keanekaragaman kultural ini merupakan satu ciri eksistensi manusia yang integral. (Parekh, 2008)
Bila demikian, adakah nilai-nilai atau norma-norma moral universal yang berlaku bagi seluruh anggota umat manusia? Secara umum, pertanyaan ini mendapat tiga jawaban: (1) relativisme, yang berpendapat bahwa nilai-nilai kebudayaan bersifat relatif bagi masing-masing masyarakat dan pencarian nilai-nilai moral universal merupakan sesuatu yang secara logis sulit dipahami; (2) monisme, yang berpandangan bahwa selama nilai-nilai moral diturunkan dari sifat manusia dan bersifat umum universal, kita dapat mencapai cara terbaik untuk menggabungkan mereka; (3) universalis minimum, mengambil posisi di tengah-tengah dan berpendapat bahwa satu kumpulan nilai-nilai universal dapat dicapai, meski nilai itu tidak banyak dan sulit untuk sampai pada satu ambang moral yang dapat dinikmati setiap masyarakat. (Parekh, 2008)
Tanggapan yang paling koheren untuk keanekaragaman moral dan kultural adalah universalisme minimum yang dialektis dan pluralis. Terdapat saling pengaruh yang kreatif antara nilai-nilai dan struktur moral yang kuat dan kompleks, di mana struktur menundukkan dan memajemukkan nilai-nilai moral yang kemudian ditafsirkan dan diperbaiki kembali menurut sudut pandang masing-masing, menjadi paham yang disebut universalisme pluralis. (Parekh, 2008)
Selama berabad-abad, para filsuf telah mencoba mencapai nilai-nilai universal dengan menganalisa kodrat manusia, konsensus moral universal, dan sebagainya. Namun, karena dilekatkan secara kultural dan sangat mudah untuk menguniversalkan nilai-nilai kita sendiri, dialog universal lintas budaya rupanya menjadi cara paling memuaskan untuk mencapainya. Dialog mampu mempertemukan pegalaman historis dan kepekaan kultural yang berbeda-beda, memberi penghargaan pada kekayaan umat manusia, dan meyakinkan bahwa tingkat abstraksi intelektual yang tercapai sungguh-sungguh murni universal dan manusiawi. Keuntungan lain yang diperoleh dari adanya dialog adalah tumbuhnya penghargaan atas kebudayaan-kebudayaan lain, menghasilkan kesepakatan dari semua yang terlibat untuk menaati hasilnya, serta memberi nilai-nilai tersebut kekuasaan tambahan yang diperoleh dari kebenaran demokratis dan konsensus global lintas budaya. (Parekh, 2008)
Dalam konteks ini, Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 memberikan titik awal yang bermanfaat. Meski demikian, deklarasi ini tidak terlepas dari kelemahan, di mana terkandung penyimpangan liberal yang meski terdengar mempesona, tidak memperoleh kebenaran universal, terutama karena adanya pengabaian nilai-nilai kolektivis yang kemudian menuai protes, khususnya dari negara-negara Asia. Selain itu, deklarasi ini juga mengacaukan hak asasi manusia dengan struktur-struktur kelembagaan khusus, terutama terkait politik dan ekonomi. (Parekh, 2008)
Mengevaluasi kekukarangan-kekurangan ini, satu-satunya cara mencapai tingkat moralitas universal adalah dengan mempertimbangkan perbedaan-perbedaan dalam sejarah, tradisi, budaya, dan moral dari keragaman masyarakat. Masyarakat yang berbeda-beda ini perlu berusaha untuk menafsirkan, memprioritaskan, dan mewujudkan nilai-nilai moral besar mereka dalam cara yang berbeda-beda serta menggabungkannya dengan struktur moral masing-masing yang telah diperbaiki dan diperbaharui. Meski demikian, ada bahaya dari pihak-pihak yang menyalahgunakan kebebasan penafsiran yang sah ini untuk merusak nilai-nilai tersebut, terutama karena adanya tekanan ekonomi dan politik global. Sayangnya, hingga kini, belum benar-benar ada lembaga hukum dan politik global yang benar-benar dapat dipercaya oleh masyarakat internasional untuk menjamin terjaganya nilai-nilai ini. (Parekh, 2008)
Sumber
Parekh, B. (2008). Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius
Sebagai tugas mata kuliah Kapita Selekta Komunikasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H