Pengertian Kawin Suntik
Kawin suntik merupakan istilah awam yang sering digunakan untuk menggantikan istilah inseminasi buatan (IB), sedangkan istilah IB merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris yaitu artificial insemination.Â
Inti arti insemination dapat diuraikan dari penyusun (akar) katanya, yaitu in yang berarti "masuk ke dalam" dan semen (dibaca simen) yang berarti "bahan yang mengandung sel benih jantan (spermatozoa) yang dikeluarkan oleh alat kelamin jantan yaitu testis". Oleh masyarakat awam, semen sering disebut sebagai sperma; meskipun hal tersebut kurang tepat karena sperma(tozoa) merupakan sel benih jantan yang menjadi salah satu komponen dalam semen (komponen yang lain adalah cairan atau plasma).Â
Pada hewan, IB atau kawin suntik dapat didefinisikan sebagai teknik perkawinan yang tidak secara langsung mempertemukan jantan dan betina, melainkan teknik memasukkan semen ke dalam saluran kelamin betina dengan bantuan manusia (petugas terlatih) dan alat khusus.
Dalam praktiknya, semen yang diambil dari sekali ejakulasi seekor pejantan dapat digunakan untuk menginseminasi atau mengawini ratusan bahkan ribuan betina. Oleh karena itu, penerapan teknologi IB sangat efektif  dalam rangka peningkatan populasi hewan ternak dibandingkan dengan perkawinan alam (petemuan langsung jantan dan betina).
Sejarah Kawin Suntik pada Hewan di Indonesia
Teknologi IB sudah lama diperkenalkan oleh para ilmuwan di Eropa; pada awalnya adalah untuk diterapkan pada hewan, tetapi sudah sangat berkembang juga pada manusia. Â Berdasarkan beberapa laporan, perkenalan teknologi IB di Indonesia dilakukan setidaknya pada awal tahun 1950-an oleh ilmuwan dari Denmark yaitu Prof B. Seit yang sekaligus sebagai dosen tamu pada Fakultas Kedokteran Hewan Univesitas Indonesia (sekarang adalah IPB Bogor) (lihat Toelihere, 1993). Setelah itu, introduksi teknologi IB dalam rangka perbaikan performa dan peningkatan populasi hewan ternak semakin giat dilakukan oleh pemerintah, terutama adalah untuk mencapai target swasembada daging dan susu.
Upaya pemerintah tersebut bisa dilacak dengan didirikannya stasiun IB Ungaran Jawa Tengah (sekarang adalah Balai IB Ungaran) pada akhir tahun 1950-an, lalu disusul Balai IB Lembang Jawa Barat tahun 1976, dan Balai IB Singosari Jawa Timur 1982. Â Bahkan saat ini, dengan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah sudah beroperasi beberapa Balai IB regional atau daerah yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia (seperti Lampung, Sumsel, Sumut, Bali, NTB, Kalsel dan Kaltim).
Balai IB merupakan instansi pemerintah yang bertugas menyediakan semen berkualitas dari pejantan unggul yang nantinya akan diolah (diberi bahan pengencer, pengawet, dsb), disimpan dan disebarkan ke daerah yang menjalankan program IB (lihat Yudi dkk, 2011). Semen dari Balai IB umumnya disimpan dalam kemasan tertentu satu dosis pada kondisi beku (dalam nitrogen cair bersuhu sekitar -196 oC) dan dipertahankan sampai ketika semen akan segera diinseminasikan barulah dicairkan (dithawing) (sebagai ilustrasi lihat Gambar 1).
Gambar 1. Ilustrasi persiapan thawing semen beku (kiri), pemasukan semen ke dalam alat IB (tengah), dan pemasukan semen ke dalam alat kelamin betina sapi (kanan)