Belakangan, media social ramai dengan meme hakim pengadilan negeri Palembang yang memutus perkara kebakaran hutan. Sebagian besar marah atas putusan hakim tersebut. Logika hukum yang sampai ke khalayak dianggap tidak masuk akal dan menggelikan. “Membakar hutan tidak merusak lingkungan, sebab masih dapat ditanami lagi.” Argumen putusan pasti tidak sesederhana itu, tetapi begitulah kesimpulan yang tertangkap media.
Meme, menjadi bentuk perlawanan. Bahkan ada yang melalui petisi. Hampir seluruhnya mengecam. Setelah berbulan-bulan media memberitakan betapa berjibakunya aparat, sukarelawan dan masyarakat memadamkan api. Ditambah betapa menderitanya masyarakat terdampak. Belum cukup waktu untuk melupakan deritanya, kini justru sakit fisik itu diperdalam oleh rasa sakit hati yang sangat mendalam. Hakim dianggap sama sekali tidak simpati apalagi empati terhadap derita masyarakat yang terdampak asap. Melalui sosmed-lah, masyarakat meluapkan kejengkelan.
Keputusan hakim kali ini, sepertinya adalah resiko dari konsep Negara hukum yang kita sepakati. Hakim berhak memutuskan berdasarkan hati nurani dan moralitasnya, bukan atas logika dan rasa keadilan masyarakat kebanyakan. Hakim dipercaya menyelesaikan perkara. Sehingga sebenarnya, memastikan vonis seperti apa yang diinginkan, meskipun itu oleh mayoritas masyarakat, berarti kita telah memvonis sebelum proses peradilan itu dimulai. Untuk apa lagi peradilan dijalankan? Celakanya, adalah ketika ada hakim yang tidak memiliki integritas.
Saya tidak mengatakan bahwa vonis tentang kebakaran hutan adalah salah satu dari contoh ‘celaka’ itu, tidak! Namun justru, saya ingin mengucapkan terima kasih atas vonis yang tidak berpihak pada kebanyakan masyarakat itu. Karena vonis itulah, masyarakat disadarkan pada logika keliru yang ternyata bertahun-tahun dihidupi oleh sebagian masyarakat. Membakar hutan dianggap sebagai sebuah kelaziman.
Pembukaan hutan dengan cara dibakar, telah sekian lama berlangsung. Baik oleh perusahaan besar, atau pekebun. Ribut, hanya pada saat asap menyebar. Setelah itu, semuanya senyap, tak berbekas, layaknya seperti asap yang menghilang. Tidak ada tersangka, apalagi yang masuk penjara. Tahun berikutnya, jika musimnya tiba. Kebakaran hutan terjadi lagi, banyak orang ribut lagi, sebatas itu. Penggiat lingkungan geram. Tetapi itu tidak mengubah keadaan.
Hakim Parlas, hanya menegaskan bagaimana sebagian masyarakat pembakar hutan berpikir. Coba kita berpikir berapa luas hutan Sumatera, Kalimantan yang kini menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit? Jutaan hektar. Ada banyak pengusaha dan petani di bisnis ini. Sebagian besar dari mereka membuka lahan dengan cara membakar, bertahap, selama bertahun-tahun lalu. Saat itu juga pasti mengasapi sebagian besar masyarakat di sekelilingnya. Tetapi semuanya maklum. Itu artinya logika Hakim Parlas, adalah logika banyak orang.
Kini logika itu dianggap keliru, sehingga perlu diluruskan. Hakim Parlas berhasil meyakinkan banyak orang dengan logika balita. Coba Anda larang seorang balita, pasti dia terprovokasi untuk melakukan larangan Anda. Tetapi jika Anda suruh, barangkali justru dia akan menghindarinya. Sayangnya, barangkali sang Hakim tak sadar ketika melakukan itu semua. @
*Penulis bertahun-tahun pernah mengalami ritual pengasapan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H