Setelah menulis tentang pilkada dan sila keempat, saya tertarik kembali mengkritisi soal RUU Pilkada ; langsung atau tidak langsung. Pada tulisan terdahulu saya ingin menegaskan bahwa dasar pilkada langsung tetap sila keempat. Sebab sila keempat tidak memiliki tafsir tunggal, yang hanya mengatakan bahwa yang sesuai adalah pilkada tidak langsung alias melalui DPRD. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan teramat dangkal jika itu dimaknai bahwa penentuan pemimpin local itu ada di tangan DPRD. Ujungnya dipahami (permusyawaratan perwakilan), dan ditafsir sebagai DPRD tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, tampaknya untuk sementara ditinggalkan.
Terbersit beberapa pertanyaan sederhana; Sistem pemilukada langsung yang selama ini dijalankan, bukankah hasil sebuah keputusan musyawah para pembuat UU terdahulu? Menurut saya, jika musyawarah memang akhirnya memutuskan voting, bukankah voting itu juga bukan bagian dari musyswarah? Kenapa ini saya sampaikan, sebab saya melihat ada dikotomi antara musyawarah dan voting. Seolah-olah musyawarah itu anti voting, padahal sebenarnya tidak demikian.
Lantas, argumen yang diusung oleh para pengusung perubahan RUU Pemilukada adalah tingginya biaya dan ekses negative dari pelaksanaan Pemilukada langsung. Bagi saya ini menarik, sebab menurut saya pemilukada langsung itu adalah investasi. Proses pendidikan bagi warganegara untuk terlibat (partisipasi) dalam kehidupan bernegara. Demokrasi, tidak memiliki roh tanpa partisipasi rakyat dari berbagai tingkatan. Jika ini adalah bagian dari proses edukasi, bagaimana rakyat belajar berbeda dalam harmoni. Maka tidak berlebihan jika memang ada harga yang harus dibayar. Ini fundamental bagi perubahan bangsa, karena menyentuh persoalan mentalitas.
Lalu, bicara ekses negative; ada argument bahwa pemilukada langsung membuat masyarakat terbelah. Pertanyaanya adalah, siapa yang membuat terbelah? Pasti mereka yang memiliki kepentingan. Ketidakterimaan mereka pada hasil proses. Mereka adalah elit, sebagian besar dari mereka adalah kader partai politik. Merekalah penggerak rakyat. Tanpa digerakkan, rakyat menikmati proses memilih pemimpin dengan kegembiraan; tanpa tekanan.
Ekses lainnya adalah; hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sekian persen bupati/walikota hasil pemilukada langsung terlibat korupsi. Pertanyaannya adalah, siapa yang berbuat? Mereka para bupati/walikota. Dan ini ranahnya adalah mentalitas pelaku. Dalam hal ini rakyat jelas dirugikan. Dan sekali lagi, sebagian besar dari mereka adalah kader partai atau setidaknya adalah orang yang tadinya disodorkan oleh partai untuk dipilih rakyat. Siapa yang tahu track recordnya? Pasti partai pengusung. Tetapi kenapa rakyat yang jadi salah. Seolah gara-gara rakyat memilihlah maka ekses negative itu terjadi. Dua kali rakyat harus menanggung beban; dia korupsi di rugikan, dan pada saat rakyat hendak ‘mengadili’ untuk tidak memilihnya lagi, justru hak ‘mengadili’ itu dicabut.
Jika benar, tanggal 25 September yang akan datang RUU itu jadi diundangkan; saya semakin tidak mengerti bagaimana para politisi itu berpikir. Salah, salah mereka; kenapa justru hak saya menentukan pemimpin yang dirampas? Ini ibarat, ada perampokan di rumah saya, yang berwajib datang, dan justru mengambil apa yang masih saya miliki, sebab ini dapat menyebabkan nantinya saya dirampok lagi. Nasib-nasib!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H