Perdebatan tentang revolusi mental, berlanjut hingga dipilihnya Susi Pudjiastuti sebagai menteri barangkali sudah bukan isu panas lagi. Tetapi saya pikir tidak ada salahnya ikut meramaikan perbincangan, meski terlambat. Pepatah juga tidak menghalangi saya untuk melakukannya ; lebih baik terlambat daripada tidak. Agak berbeda memang dari pilihan pemimpin kita, kerja-kerja dan selesaikan secepatnya, yang berdampingan dengan lebih cepat lebih baik. Tapi tak apalah, toh saya juga bukan pemimpin yang dituntut untuk bertindak cepat.
Dipilihnya bu Susi sebagai menteri, Jokowi dianggap menghianati semangatnya sendiri ; revolusi mental. Mengingat ada banyak hal yang dipertontonkan bu Susi hanya beberapa menit setelah dilantik. Merokok di halaman istana, dan ternyata bu menteri punya tato. Belum lagi jika ditelusuri bagaimana masa lalunya; pernikahannya kandas dan beliau bahkan tidak menyandang gelar akademik yang cukup untuk posisi seorang menteri. Banyak yang mencela, tetapi tidak sedikit yang membela.
Mencermati perdebatan, saya kasihan juga dengan bu menteri, sebab kecakapannya bekerja nyaris tidak menarik bagi media. Media lebih suka mengotak atik kehidupan pribadinya, dari sekian banyak yang berkomentar mencela, juga saya amati hanya mempersoalkan rendahnya pendidikan dan etika ketimuran yang telah ‘ditabrak’ bu Susi. Namun dari sini saya justru perlahan memahami pilihan Jokowi tentang revolusi mental yang beliau gaungkan.
Revolusi yang saya pahami adalah sebuah perubahan radikal, sementara mental saya menafsirkannya sesuatu yang mendasari bagaimana seseorang bertindak, ini meliputi olah pikir. Pilihan Jokowi pada bu Susi adalah bentuk radikal-nya presiden dalam menentukan seorang menteri. Kebiasaan dihilangkan, diganti dengan pola yang benar-benar baru; menteri hanya seorang lulusan SMP. Pilihan ini saya yakini bukan asal radikal, tetapi hasil dari pengamatan pada proses. Bahwa bu Susi memang bukan didik dalam legalitas formal, tetapi di didik oleh proses. Presiden Jokowi mencoba memberi pemahaman baru bahwa esensi jauh lebih penting ketimbang prosedur. Ini berarti prosedur dibuat untuk menggapai esensi, bukan sebaliknya.
Betapa dunia pendidikan kita sering di’kotori’ oleh prilaku lacur ; plagiat dan ijasah aspal. Ditambah saat syarat pegawai negeri untuk kenaikan pangkat harus melalui prosedur pengembangan diri, baik melalui seminar atau pelatihan-pelatihan. Begitu banyak orang yang berlomba, bukan untuk ilmunya tetapi sertifikatnya. Padahal sertifikat itu dikeluarkan semestinya diimbangi dengan pertanggungawaban bahwa prosesnya telah ditempuh dan memang seseorang layak mendapatkannya. Betapa esensi telah dikalahkan oleh legalitas formal.
Situasi tersebut juga tampak di kalangan eksekutif dan legislatif, mengentaskan kemiskinan dijawab dengan menseminarkan persoalan tersebut. Dikupas tuntas dengan beragam diskusi, tetapi ketika rakyat mendapat entah 200 ribu atau 300 ribu, para politikus segera ribut, apa payung hukumnya? Padahal ada berjuta-juta bahkan miliaran rupiah untuk menseminarkan, buat program, dan tentu honor pembicaranya yang tidak cukup hanya dengan 200 atau 300 ribu saja. Sekali lagi esensi kalah dengan prosedur.
Memang ini bukan pengamatan komprehensif, tetapi setidaknya saya melihat hal-hal tersebut yang telah saya kemukakan. Salam.@
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI