Sejak tinggal di kota satelit belasan tahun yang lalu, saya selalu menggunakan transportasi publik. Beragam jenisnya mulai dari angkot, bus, transjakarta, hingga taksi. Pahit getirnya menjadi penumpang moda tersebut, sudah pada taraf ; rutinitas. Bahkan sudah menjadi sebuah kelaziman belaka. Belasan tahun pula, belum ada perubahan, bahkan modanya pun tak banyak berubah. Kecuali transjakarta dan taksi. Â Untuk moda yang terakhir, pepatah tua jawa bilang ; ono rego ono rupo (mau bagus ada harga).
Belasan tahun, saya tidak berani berharap lebih. Menerima adanya, dan memang begitulah seharusnya. Tidak ada yang memperjuangkan sebuah perubahan yang mengutamakan kepentingan orang-orang seperti saya. Inilah takdir, meski sebenarnya bisa saja saya menggunakan transportasi pribadi. Tetapi itu tetap tidak saya pilih. Sebenarnya, penumpang yang dalam kalkulasi ekonomi modern adalah raja, dalam kasus transportasi public Jakarta, teori itu tidak berlaku. Penumpang tetap adalah korban.
Saya tidak pernah tahu, siapa dan bagaimana kelayakan kendaraan yang saya tumpangi. Saya hanya tahu, bahwa kendaraan itu masih bisa jalan dan saya tidak tahu apakah dia juga bisa berhenti dengan baik tanpa menabrakkkan pada angkutan lain. Saya tidak pernah tahu, kualifikasi sopir saya, sopir resmi atau sopir tembak, punya SIM atau tidak. Saya hanya tahu, sopir-sopir itu menyimpan seragam di samping kursi mengemudinya. Dipakai jika ada operasi penertiban. Bahkan saya sama sekali tidak tahu jika sesuatu terjadi diperjalanan, siapa yang harus bertanggungjawab. Semuanya serba gelap alias tidak jelas, yang saya tahu, ada sebuah organisasi yang menaungi mereka bernama ORGANDA yang selalu bersuara lantang kenaikan tariff  jika pemeritah menaikkan harga BBM. Tetapi menghilang ketika harga BBM turun lagi. Organisasi ini senyap ketika saya dan orang-orang lain seperti saya sebagai konsumen  mempertanyakan layanan, kalaikan armada, sikap para sopir yang semau gue, ngetem  dan bikin macet, sopir ugal-ugalan, dan masih banyak lagi.
Barangkali sudah takdirnya pula, zaman bergerak, segala sesuatu yang menawarkan kenyamanan terus dibuat orang atas nama inovasi. Ini dalam perspektif Darwin adalah evolusi, dan proses seleksi, siapa yang tidak mampu beradaptasi, punah.  IT memberi ruang bagi mereka yang membutuhkan terkoneksi pada mereka yang mampu menyediakan kebutuhan. Aplikasi Online pada transportasi salah satunya. Mereka, orang-orang seperti saya yang selama ini teraniaya oleh apa yang tersedia, aneh namanya kalau tidak mudah tergoda. Toh, banyak hal dalam hidup ini adalah pilihan. Kalau ada yang menempatkan kita pada posisi yang  semestinya, bodoh namanya jika tetap bertahan pada situasi mencekam dan merasa tertindas.
Demo besar, Selasa 22 Maret lalu yang dilakukan oleh para sopir angkutan darat, sepertinya demonstrasi yang justru akan berbuah pada serangan balik. Karena apa yang sedang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang justru bertentangan dengan logika-logika publik, konsumen mereka. Sepertinya mereka sedang berjuang untuk keadilan, tetapi apakah mereka memperhatikan keadilan bagi konsumen mereka? Kenyamanan, tarif terjangkau, dan sikap hormat yang menunjukkan pandangan bahwa konsumen adalah raja. Belum lagi kericuhan dan kemacetan yang mereka timbulkan. Luar biasa, seandainya public bisa melakukan class action untuk kerugian-kerugian yang telah mereka timbulkan. Bisa tutup tuh perusahaan taksi dan angkutan umum. Karena barangkali permintaan maaf saja belum cukup, tanpa kompensasi nyata bagi masyarakat terdampak. Namun, okelah masyarakat kita memang pemaaf. Meskipun geram setelah mendengar para pihak yang semestinya bertanggungjawab pada apa yang terjadi justru ramai-ramai cuci tangan. Sepertinya tidak tahu menahu pada apa yang dilakukan para pegawai atau anggotanya, termasuk organisasi yang membawahi mereka ; Organda.
Saya sepakat ketika petinggi Organda mengatakan bahwa angkutan berbasis aplikasi online harus mengikuti  aturan, tetapi mereka juga harus berkaca apakah anggota merela selama ini taat dengan aturan yang ada? Usia kendaraan misalnya? Ketaatan para sopir angkutan pada peraturan lalu lintas misalnya? Kejelasan sopir angkutan misalnya? Standar layanan publik misalnya? Dan aturan-aturan lain yang berpihak pada kenyamanan konsumennya, sudahkah? Jika belum, maka pernyataan itu sebenarnya sedang;  menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.  @
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H