Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mentalitas Daun Dalam Realitas Plastik

14 Oktober 2014   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:07 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari sebuah upaya memaknai kembali gaung modernitas yang belakangan terlanjur dicap sebagai milik manusia zaman ini. Aku jadi teringat ungkapannya Tukul tentang istilah Ndeso dan Kota, yang sering ia ucapkan “dasar ndeso katrok” dan “rejeki kota”. Ada makna tersirat yang hendak dikatakan dari dua istilah itu yang masing-masing memiliki dan mewakili deskripsinya sendiri. Dalam penafsiran saya, kota mewakili segala sesuatu yang berkaitan dengan modernitas sementara ndeso dengan segala bentuk keluguan dan ketertinggalannya.

Salah satu ciri manusia modern menurut Alex Inkeles adalah memiliki kesediaan untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaannya bagi pembaharuan dan perubahan. Persoalan kemudian muncul, tatkala modernitas coba ditelusuri melalui mentalitas. Benarkah mereka yang secara geografis berada di kota sudah mewakili kota dalam pemahaman di atas? Atau justru Ndeso lebih mengggambarkan realitas kota yang sesungguhnya?

Dalam suatu kesempatan di kelas saya membuat ilustrasi sederhana untuk menjelaskan realitas ini. Saya mengatakan bahwasebenarnya kita masih memiliki mentalitas daun padahal realitas yang kita gunakan adalah plastik. Di sini terjadi split antara konsep berpikir dan realitas di lapangan.

Mari kita sama-sama telusuri, bagaimanakah kita memperlakukan sampah di rumah? Kumpulkan jadi satu tak peduli sampah itu dalam kategori apa, buang ke tempatnya (kalau ada ), biasanya pemulung datang dan sampah itu kemudian berserakan, jika pengumpul dalam beberapa hari tidak datang solusi sederhanaya adalah bakar, selesai! Dan seandainyapun sampah itu sampai ke pembuangan akhirnya juga dibakar setelah pemulung tak lagi melihat nilainya. Tahukah kita sampah apa yang telah kita buang itu? Saya yakin ada banyak sampah plastik yang turut kita buang dengan perlakuan seperti di atas, lalu apakah artinya ini?

Wong ndeso, sejak berabad lalu juga sudah nyampah, mereka juga menyapunya agar halaman rumahnya, kebunnya, ‘kelihatan’ ada penghuninya. Dikumpulkan di suatu tempat, biasanya dalam lubang lalu juga dibakar. Bedanya mereka membakar daun daun kering. Bagi wong ndeso plastik merupakan barang mahal kalaupun ada mereka kumpulkan untuk bungkus keperluan berikutnya. “sayang kalau dibuang”! Pertanyaannya kemudian adalah samakah hasil akhir antara membakar plastik dan membakar daun kering?

Untuk membandingkan bedanya, saya mengutip satu bagian dari artikel sebuah situs seperti di bawah ini.

Saat ini sampah telah banyak berubah. Setengah abad yang lalu masyarakat belum banyak mengenal plastik. Mereka lebih banyak menggunakan berbagai jenis bahan organis. Di masa kecil saya (awal dasawarsa 1980), orang masih menggunakan tas belanja dan membungkus daging dengan daun jati. Sedangkan sekarang kita berhadapan dengan sampah-sampah jenis baru, khususnya berbagai jenis plastik.
Sifat plastik dan bahan organis sangat berbeda. Bahan organis mengandung bahan-bahan alami yang bisa diuraikan oleh alam dengan berbagai cara, bahkan hasil penguraiannya berguna untuk berbagai aspek kehidupan.
Sampah plastik dibuat dari bahan sintetis, umumnya menggunakan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadnium, timbal, nikel) atau bahan beracun lainnya seperti Chlor. Racun dari plastik ini terlepas pada saat terurai atau terbakar.
Penguraian plastik akan melepaskan berbagai jenis logam berat dan bahan kimia lain yang dikandungnya. Bahan kimia ini terlarut dalam air atau terikat di tanah, dan kemudian masuk ke tubuh kita melalui makanan dan minuman.
Sedangkan pembakaran plastik menghasilkan salah satu bahan paling berbahaya di dunia, yaitu Dioksin. Dioksin adalah salah satu dari sedikit bahan kimia yang telah diteliti secara intensif dan telah dipastikan menimbulkan Kanker. Bahaya dioksin sering disejajarkan dengan DDT, yang sekarang telah dilarang di seluruh dunia. Selain dioksin, abu hasil pembakaran juga berisi berbagai logam berat yang terkandung di dalam plastik.

( Dikutip dari : http://www.labschool-unj.sch.id/tk/publikasi.php?action=berita&id=457)

FAKTA MENGENAI SAMPAH PLASTIK

1.. Sampah plastik atau benda-benda yang mengandung plastik (tas kresek, kantong plastik, bungkus permen, kemasan styrofoam atau gabus) jika dibuang begitu saja kedalam tanah, baru akan hancur dalam waktu sekitar 200 hingga 400 tahun.
2.. Membakar sampah plastik sama saja menambahkan racun yang sangat berbahaya pada udara yang setiap saat kita hirup karena asap hasil pembakaran tersebut mengandung racun kimia yang bisa menyebabkan antara lain penyakit pada saluran pernafasan, kanker paru-paru, dll.
3.. Sisa makanan yang terbungkus rapat dalam kemasan plastik, setelah 10 tahun berada didalam timbunan sampah, jika pembungkusnya dibuka kembali, maka bentuknya masih tetap sama karena plastik pembungkus-nya menghambat proses pembusukan yang seharusnya terjadi.
Jangan Membakar Sampah Plastik
Membakar plastik menyebabkan zat-zat beracun dari sampah itu akan terlepas menuju atmosfir dan tentu saja akan masuk ke udara yang kita hirup. Menghirup polusi udara seperti ini akan menyebabkan dampak negatif yang serius pada kesehatan termasuk melemahnya kekebalan tubuh dan kanker paru-paru.

( Dikutip dari : http://9u4rd14n-4n93ls.blogspot.com/2008/03/bahaya-sampah-organik.html)

Melalui kutipan tersebut, saya ingin menunjukkan pada kita semua bahwa ada sesuatu yang tidak berubah, yaitu mentalitas pada orang-orang yang mengaku dirinya wong kota. Lalu, benarkah mereka adalah orang-orang modern jika mencermati paparan Alex Inkeles di atas? Apabila ternyata perubahan dan pembaharuan hanya terjadi pada aras barang dan bukan cara berpikir, ini baru satu contoh!

Catatan ; tulisan lama di blog pribadi, saya share ulang.  Blog Sumber di sini

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun