Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencari Pendidikan Unggul dalam Negeri, Adakah?

13 Oktober 2015   06:51 Diperbarui: 13 Oktober 2015   10:33 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - merayakan kelulusan sarjana (Shutterstock)

Di media, kita bisa menyaksikan bagaimana Kementerian Dikti bereaksi atas maraknya penyelenggaraan pendidikan abal-abal. Tanpa proses akademik, seseorang dapat menyandang gelar kesarjanaan, bahkan pascasarjana. Syaratnya tidak bertele-tele, sejauh Anda punya uang.

Teori ekonomi gaya kapitalis, sekali lagi dalam konteks ini mengibarkan bendera kemenangan. Sejauh pasar ramai permintaan, selalu ada pihak yang mencoba mengambil keuntungan. Meskipun harus mengorbankan idealisme. Sebagai penyelenggara lembaga pendidikan, meski abal-abal, saya yakin mereka adalah insan terdidik yang paham akan nilai-nilai pendidikan. Tetapi bukan untuk diimplementasikan.

Di aras bawahnya, fenomena pendidikan abal-abal juga tidak sepi peminat. Perbedaannya hanya pada modus dan bentuk operasinya. Tetapi semua sama saja, menyajikan model pendidikan yang tidak mendidik sama sekali. Prosesnya jauh dari upaya memerdekakan manusia, tetapi membawa para nara didiknya ke dalam sebuah belenggu perbudakan pemikiran; bahwa ‘uang, gelar dan jabatan’ adalah segala-galanya, bagaimanapun cara memperolehnya.

Fenomena tersebut memang tidak mencerminkan bagaimana keseluruhan dunia pendidikan kita berproses. Namun keberadaannya cukup menggelisahkan. Bukan saja dari keberadaan lembaga pendidikannya semata, namun yang lebih dari itu adalah apa yang masyarakat pikirkan tentang pendidikan. Sebab dunia pendidikan selalu dimuarakan pada nilai-nilai kapitalisme, bukan bagi upaya memanusiakan manusia.

Tren Dunia Pendidikan

Gejala orientasi dunia pendidikan bergerak didasarkan pada kepentingan kapitalisme, tampak dari bagaimana pendidikan kita memoles diri. Tidak peduli pendidikan itu milik Negara ataupun swasta. Masing-masing merasa berhasil setelah dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan yang go internasional. Melalui hal tersebut, lembaga pendidikan memiliki gengsi dan memberi ‘jaminan’ bagi yang dididik di dalamnya dapat memenangkan persaingan global. Hal ini klop dengan pemikiran sebagian masyarakat yang mulai ‘alergi’ pada hal-hal yang berbau lokal dan konvensional.

Lembaga pendidikan berbenah, kurikulum mulai mengadopsi pendidikan Barat atau Negara-negara yang dianggap maju pendidikannya. Sebagian bahkan tidak mau repot, tinggal beli saja lisensinya karena toh beberapa lembaga pendidikan di luar sana secara sengaja mewaralabakan kurikulumnya. Jika diperlukan mereka pun siap mendatangkan tenaga pengajarnya. Apalagi pendidik lokal pasti kurang gape mengimplementasikan kurikulum waralaba tersebut. Meski sebagian besar pada implementasinya hanya mengubah bahasa penyampaian materinya dan bukan esensi serta proses belajar mengajarnya.

Belajar dari apa yang baik, memang tidak salah. Tetapi berpikir bahwa ini lebih baik dari cara-cara konvensional dan hal-hal yang berbau lokal, saya pikir perlu sebuah proses pengkajian yang mendalam.

Pendidikan Itu Belajar Memahami Realitas

Pendidikan menurut saya adalah proses bagaimana seseorang memahami diri dan lingkungannya, agar dia dapat hidup di dalamnya. Ideologi apa pun sah hukumnya untuk menggunakan pendidikan sebagai jalan untuk mencapai tujuannya. Sehingga saya berpikir bahwa tren, termasuk yang menggejala pada dunia pendidikan itu by design. Bukan sesuatu yang dengan sendirinya bergulir. Jadi bagi saya, tren itu tidak tunggal. Sehingga tidak ada yang berhak mengklaim bahwa caranya adalah yang terbaik. Namun bukan berarti tidak ada hal-hal yang esensial dalam proses bagaimana dunia pendidikan itu diselenggarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun