Saya lahir dan dibesarkan di pesisir timur Sumatera Utara. Masyarakatnya kental dengan kultur Nongkrong dikedai-kedai kopi. Sekedar melepas lelah setelah menjalankan aktifitas sebagai nelayan, petani atau buruh kasar. Duduk santai sambil menyeruput kopi adalah bentuk relaksasi dari beragam kejenuhan dan beban hidup. Selain itu, kedai kopi adalah medium demokrasi khas masyarakat pinggiran. Sebuah bentuk parlementaria rakyat jelata. Sehingga obrolan-obrolan politik tingkat tinggi tak jarang dihadirkan di kedai-kedai tersebut, terlebih di musim politik saat ini.
Pembicaraan mereka actual. Nelayan, buruh dan petani yang tak terafiliasi pada partai politik apapun itu tak tampak sebagai orang-orang yang tertinggal. Dengan segala kesederhanaan mereka berpikir, mereka mampu menampilkan argumentasi logis untuk setiap pilihan kecenderungan. Mereka elegan dalam mendiskusikan perbedaan, dan selalu ada tawa meski pilihan mereka berbeda. Lawan berbincang yang berbeda pendapat justru membuat suasana menjadi seru, dan membuat mereka memiliki bahan untuk berbicang keesokannya. Pemilik kedai adalah sosok yang paling diuntungkan.
Apa yang biasa saya alami ini begitu kontras dengan apa yang ditampilkan oleh para elit politik, terutama saat saya melihat sebuah acara debat di sebuah stasiun TV swasta.Padahal menurut referensi yang saya ketahui, mereka yang berdebat adalah tokoh-tokoh terdidik yang jelas intelektualitasnya semestinya tak diragukan. Namun saat melihat mereka berdebat mempertahankan jagonya di pilpres yang akan datang. Kening saya berkerut. Mereka telah merendahkan diri mereka sebagai kaum intelektual, mereka hanya berdebat yang dalam pemahaman anak-anak SD pun dipahami sebagai sebuah debat kusir, yang tak jelas juntrungannya. Tak banyak wacana cerdas yang dikemukakan apalagi sikap elegan. Tak ada data yang ditampilkan, yang ada hanya sebuah pertunjukan saling menyerang, tapi tanpa arah. Kasarnya, asal bunyi!
Kearifan local, ternyata bukan barang yang layak dimuseumkan terutama saat saya mencermati fenomena tersebut. Bangsa ini ternyata memiliki modal budaya dalam berdemokrasi, yang dihasilkan oleh bangku kedai kopi dan bukan bangku sekolah. Para elit politik yang kini menjadi tim pemenangan capres itu, mestinya di beri pelatihan dan magang dulu di kedai-kedai kopi itu. Agar mereka memahami sebuah kearifan berdemokrasi. Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H