Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru, Diantara Beban Zaman dan Profesi Mulia yang Tak ‘Laku’

17 Oktober 2015   09:36 Diperbarui: 17 Oktober 2015   10:14 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agen perubahan, peran strategis itu disandang oleh guru. Bahkan di negeri ini, Pahlawan tanpa tanda jasa dilekatkan sebagai suatu bentuk penghormatan. Peran dan penghormatan, tidak banyak mengubah keadaan, dalam realitas dan struktur social, para guru tetaplah Umar Bakri. Meski begitu tidak ada satu pun yang memungkiri bahwa peran guru mengubah keadaan; dominan. Namun sangat disayangkan, penghormatan atas apa yang guru lakukan lambat laun mengalami perubahan.

Dunia dan paradigmanya berubah, apa yang bernilai di masyarakat bergeser. Termasuk cara masyarakat memandang profesi guru. Mulia, tetapi tidak banyak yang ingin menggeluti bidang ini secara professional. Pengalaman saya mengajar lima belas tahun menunjukkan hal itu. Tidak satu pun putra-putri lulusan terbaik, menggantungkan cita-citanya untuk menjadi guru. Kecuali, ketika mereka dulu masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di mana orientasi mereka masih dipengaruhi oleh figure guru mereka. Tetapi setelah SMA dan hendak melanjutkan ke PT, cita-cita itu hanya sesuatu yang terdengar manis untuk di kenang. Bukan untuk di wujudkan.

Bangku sekolah, membuat mereka pintar merancang masa depan, dan itu bukan dengan menjadi guru full time secara professional . Bayang-bayang Umar Bakri masih menghantui profesi yang satu ini. Tetapi tidak sedikit juga yang memulai menapaki profesi ini sebagai batu loncatan, karena tidak mahir melompat, banyak juga yang akhirnya terperosok dan terus bertahan. Meski saya juga meyakini ini tidak mencerminkan seluruh keadaan. Saya hanya ingin menegaskan bahwa profesi guru bukanlah profesi yang secara financial menjanjikan, hingga menarik banyak orang berlomba-lomba untuk hidup menjadi seorang guru. Perubahan drastis perguruan tinggi keguruan menjadi universitas umum beberapa tahun silam pun saya pikir karena disorientasi ini. Artinya pemerintah sebenarnya telah menyadari keadaan itu beberapa tahun silam.

Guru Dan Beban Zaman

Bukan pilihan dari mereka yang terbaik, bukan berarti grade pencapaian diturunkan. Dunia bergerak dinamis, persoalan semakin kompleks, guru tetap harus berada di garda terdepan, mengantisipasi atau jika mungkin mengendalikan laju perubahan. Bertanggungjawab pada software dan hardware penggerak zaman; manusia. Namun tidak jarang, dalam peran itu guru dibiarkan sendirian.

Begitu mudah guru dituding gagal menjalankan amanahnya jika prilaku siswa melanggar etika dan norma social. Siswa tawuran, kekerasan anak, kenakalan remaja, selalu akan berimplikasi pada pertanyaan ; gurunya mana? Padahal tidak jarang intervensi orang tua, media, lembaga terkait, pengamat, dan masih banyak lagi, membuat guru gamang dalam menegakkan aturan kedisiplinan. Terlalu banyak tafsir yang kemudian bisa dikemukakan, padahal niat guru Cuma satu ; anak dapat berlaku sesuai norma yang ada di masyarakat. Tetapi masyarakat tidak lagi yakin ketika menitipkan putra-putri mereka pada guru untuk dididik. Orang tua ragu pada kemampuan guru dalam membentuk karakter anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Terbukti guru tidak lagi merdeka dalam banyak hal dalam menentukan tindakan.

Belum lagi, himpitan gap kepentingan pada saat guru memberikan penilaian, antara idealism, nama baik, dan orang tua. Pendidikan yang bermakna luas tereduksi oleh kepentingan pragmatis, angka-angka. Pencapaian pengetahuan yang kompleks, menjadi bermakna setelah terkonversi ke dalam bilangan sederhana matematika 1 sampai 10, atau 1 sampai 100. Angka yang awalnya hanyalah alat bantu untuk memudahkan memetakan kemampuan, kini menjadi tujuan pencapaian. Pemahaman ini diamini masyarakat, sehingga angka menjadi lebih penting ketimbang proses dalam memperoleh angka itu. Ini tampak ketika nyontek atau tindakan plagiat bukan lagi sesuatu yang memalukan. Bahkan semua pihak bisa terlibat, begitu kompromistis untuk urusan satu ini. Alasannya demi menjaga nama baik sekolah atau bahkan mungkin daerah. Fenomena ini terang benderang terjadi pada saat pagelaran Ujian Akhir Nasional. Guru tidak ingin dianggap gagal dalam mengajar, daerah tidak ingin dianggap tertinggal pendidikannya, orang tua tidak ingin anaknya tidak lulus, tidak ada cara lain selain nyontek berjamaah.

Peringkat Indonesia yang tidak banyak beranjak dalam bidang pembangunan sumber daya manusia, banyak yang menyuarakan dan bermuara pada ; persoalan dunia pendidikan. Lagi-lagi, guru harus menelan pil pahit, ungkapan yang sepadan dengan terkena getahnya. Kualitas guru harus didongkrak, walaupun menurut saya itu tidak cukup, karena mesti diangkat kepermukaan yang jauh lebih tinggi, bila perlu menggunakan crane.

Pemerintah kecewa karena dari berbagai uji kompetensi yang dilakukan, kualitas guru masih di bawah rata-rata yang diharapkan. Artinya, sebagian besar guru di negeri ini belum kompeten menjadi guru. Para pengambil kebijakan mungkin saja pura-pura tidak tahu, atau mungkin lupa dengan hukum sebab akibat. Di awal tulisan ini saya sudah mengemukakan, bahwa menjadi guru bukanlah pilihan putra terbaik di negeri ini. Bahkan pemerintah pun tidak memiliki percaya diri yang cukup dalam mengembangkan sekolah para calon guru dengan diubahnya Perguruan Tinggi berorientasi pendidikan (IKIP) menjadi Universitas Umum. Ini sama saja dengan tidak menanam, tetapi berharap hasil yang melimpah.

Percaya Pada Yang Bersedia

Saya suka dengan kalimat ; ‘mari kita mulai dari sesuatu yang ada, dan bukan dari apa yang seharusnya.’ Kesenjangan pendidikan di negeri ini bak langit dan bumi adalah kenyataan, kompetensi guru jauh dari apa yang diharapkan adalah realitas yang tidak terbantahkan. Ini adalah fakta yang negeri ini miliki, maka tidak ada tempat untuk bicara apa yang seharusnya berdasarkan gambaran kondisi ideal yang sama dengan negeri antah berantah di luar sana. Selama ini mereka para guru sudah mengabdi. Memang ada begitu banyak yang lebih hebat dari mereka para guru hari ini, tetapi hanya mereka yang mau. Mereka adalah orang-orang yang tidak lagi bermimpi kaya, tetapi bukan berarti tidak layak untuk dicukupi, meski mereka miskin kompetensi. Kesetiaan mereka pada dunia yang kini digeluti, menunjukkan mereka punya integritas. Karakter, yang hari –hari ini jadi ‘barang’ langka. Mengukur kompetensi guru dari hanya mengerjakan soal-soal pilihan ganda jelas mengerdilkan pencapain dan proses dari aktifitas yang telah bertahun-tahun guru telah jalani. Sebab dari mereka yang barangkali tidak kompeten itu, telah ada seorang menteri, bupati, gubernur, camat, polisi, tentara dan masih banyak lagi. Masih mau bilang mereka tidak kompeten? Atau jika para pejabat korup hari-hari ini juga karena kesalahan guru, sebab dulu waktu mengajar tidak kompeten?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun