Gelaran Pemilu 2024 telah usai. Rakyat semestinya bisa kembali tenang. Tidak direcoki tim kampanye caleg dengan undangan  visi misinya. Toh, di TPS nyaris adem ayem. Ketiwa ketiwi sambil mendengarkan suara lantang anggota KPPS ; sah ! Artinya proses ditingkatan paling bawah itu mulus. Kalaupun ada masalah, bisa diidentifikasi lokasinya, tidak sporadis dan menyeluruh. Lagian, lantas ada penyelesaian konkrit, pencoblosan ulang di TPS tersebut.
Anehnya, justru perdebatan timbul dikalangan para elit politik. Bahkan, ada calon yang dalam perhitungan QC kalah, kini meneriakkan Hak Angket DPR. Bagi saya, ini anomali persis seperti yang disampaikan oleh sekjen partainya.
Hak Angket, benar adalah hak konstitusi anggota DPR, penggunaannya sama sekali tidak menyalahi aturan. Pertanyaannya, apakah diperlukan, mengingat dampaknya bisa merugikan banyak pihak, terutama rakyat seperti saya ini.
Saya memahami Hak Angket itu adalah proses politik. Pada pemahaman seperti itu, maka kepentingan akan menjadi pertimbangan dominan dalam mengurai penyelidikan guna mencari kebenaran. Sangat mungkin bukan kebenaran yang akan diperoleh, tetapi pembenaran atas proses tawar menawar kepentingan. Karena bukan kuat tidaknya data dan fakta dilapangan, tetapi perdebatan berdasarkan sudut pandang dan asumsi. Masing-masing punya titik benarnya sendiri.
Proses yang berlarut dan perdebatan yang timbul, sedikit banyak akan mempengaruhi rakyat. Membenturkan mereka yang berbeda pilihan. Mulai dari perdebatan di media sosial dan pasti juga di lapangan. Tidak perlu naif. Jika ada yang bilang, lebih baik Hak Angket daripada di jalanan. Mereka lupa, perdebatan apapun di gedung DPR selalu ada parlemen jalanan yang membuat macet, belum lagi gesekan antara mereka dengan aparat. Apalagi Hak Angket Pemilu, rakyat terlibat langsung di dalamnya, termasuk pilihan rakyat langsung yang diangketkan. Keterlibatan rakyat dalam prosesnya inilah yang akan membedakan dampaknya dibanding dengan Hak Angket-Hak Angket lain. Karena hasil kerja mereka dianggap curang oleh para elit politik. Bisa di estimasi kerugian rakyat yang akan didapat, kebisingan politik yang berdampak pada ekonomi, itu pasti.
Para elit yang sepakat pada Hak Angket sepertinya melihat, Pemilu cacat semenjak dari proses hilirnya. Justru sebagai rakyat yang diminta tidak Golput saya mempertanyakan integritas mereka. Jika sejak awal Pemilu cacat, kenapa mereka tidak sejak awal mundur dari proses. Ini lebih berwibawa. Ini kan namanya "Ngeprank" rakyat. Gue ngikut nih, faktanya demikian kan, ngikut kampanye, pasang baliho, senyum-senyum dan kasih tahu telunjukknya sudah ada tinta. Tetapi giliran angka-angka menunjukkan kekalahan lantas bilang ; eh gak jadi deh, gue boong ! Nah kan, ini sama saja artinya dengan pengecut. Jika sejak awal tahu pasti bakalan curang, bilang ke rakyat, gue nggak bakalan ikut, mundur semua dari pencalonan, baik Capres-Cawapres, Caleg. Ceritanya kan jadi beda, saya tidak perlu ribet-ribet pergi ke TPS.
Para elit ini saya yakin paham betul soal aturan Pemilu, mereka yang buat. Tetapi mereka juga yang tidak percaya pada tahap-tahapnya. Tidak percaya pada MK, KPU dan Bawaslu, lah mereka yang pilih juga sebelum Pemilu, emang hasil pilihan rakyat? Nggak kan ! Tetapi sudahlah, bagaimanapun politik itu dinamis. Kita lihat saja nanti, yang pasti saya hanya akan menandai mereka yang lantang berteriak Hak Angket untuk tidak memilihnya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H