Jutaan hektar hutan dibakar, karena tidak ketemu pelakunya, makanya katanya diubah ; kebakaran hutan. Seolah semuanya terjadi alamiah, lagi-lagi semesta disalahkan, terjadi dengan sendirinya. Padahal kita semua juga tahu untuk apa lahan bekas "kebakaran" itu, perkebunan kelapa sawit.
Ribuan orang, ratusan ribu bahkan atau mungkin juga jutaan, harus menangis karena mata pedih, pernafasan terganggu. Tidak ada bantuan untuk membeli obat tetes mata, apalagi tabung oksigen. Kita semua menanggung bersama. Menikmati asap yang mengepul. Negera bahkan dipermalukan dunia, tidak bisa urus asap. Dibiarkan terbang tak tentu arah. Mungkin lain kali, buat penyaringnya diperbatasan.
Transportasi terganggu. Kapal tak berlayar, pesawat tak terbang, mobil melaju pelan. Silaturahmi tertunda. Jemuran bau asap, tak kering-kering karena matahari tak menembus kabut pekat asap. Sumber daya berjibaku mematikan api. Tentara tak maju perang, tapi menenteng selang. Polisi juga demikian. Semua bahu membahu bersama warga di sekitar hot spot. Duit negara terkuras, untuk apa? Nantinya semua akan mewujud menjadi minyak goreng.
Semua peristiwa itu diketahui Eropa, akhirnya mereka tidak mau membeli. Negara bertindak, akhirnya jadilah campuran BBM. Â "B". Entah mulai dari B berapa, 10, 20 atau 30, saya tidak terlalu paham. Tetapi yang pasti pemilik perkebunan senang, produk olahan kelapa sawit terserap pasar. Apa yang terjadi tidak percuma, anggap saja semua yang telah dilalui adalah harga yang harus dibayar.
Tetapi sepertinya kini, semua kerja bersama itu dikhianati. Ketika dunia tidak lagi malu-malu, karena mereka butuh. Harga jadi tinggi. Apa yang seharusnya jadi minyak goreng itu entah pergi menghilang kemana, dan entah menjadi apa. Margarin, BBM atau apa di luar negeri sana. Harganya menggiurkan, ketimbang sesuatu yang bisa bikin ibu-ibu bahagia, karena bisa membuat teman minum kopi suaminya. Â Ketimbang untuk ngopi suaminya mencari teman lain.
Sedihnya, kini banyak keluarga yang tidak saling mengenal di minimarket atau supermarket. Karena anjuran, setiap orang hanya boleh membawa pulang satu bungkus. Akhirnya, harus orang yang berbeda yang mengantri di depan kasir. Agar tidak mencolok, masuknya pun bergantian. Bahkan meninggalkan keluarga untu berpanas ria, dengan nomer antrian di tangan. Demi sebungkus minyak goreng.
Saya kini sadar, ternyata minyak goreng itu punya banyak kisah, dari mulanya hingga akhirnya. Ceritanya lebih seru ketimbang sinetron hits yang banyak menghasilkan iklan. Sungguh, derita tiada akhir banyak orang dibuatnya. Pelakon antagonis yang sukses. Ingin rasanya tak cubit, tetapi ternyata istri saya sedang merindukannya. Gemeskan jadinya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H