Saya mendengar kisah ini dari mertua, ketika beliau masih hidup. Saat terbaring di rumah sakit, untuk membuang kejenuhan, beliau banyak menceritakan masa lalunya. Termasuk soal yang satu ini, sesuatu yang kemudian membuat saya terinspirasi untuk menuliskannya di sini.
Beliau bilang, dulu ketika masih remaja, juga pernah mengalami patah tulang. Kala itu ia terjatuh, dan oleh orang tuanya "dibawa" berobat ke ahli tulang yang berbeda kampung. Uniknya tanpa harus ikut bersama mereka. Cukup berbaring di rumah, tanpa harus bertemu muka dengan sang dukun tulang.
Meski tanpa pijatan langsung, mertua bilang ia merasakan sakit luar biasa, bertepatan dengan sang dukun yang nun jauh di sana juga "memijat". Warga masyarakat kala itu paham benar bahwa sang dukun tulang tersebut memiliki kekuatan special, dapat memijat dari jarak jauh. Hasilnya, setelah beberapa kali pemijatan dengan metode tersebut, kakinya berangsur sembuh. Beliau dapat berjalan kembali seperti sedia kala.
Kisah seperti itu, saya yakin bukan hanya milik mertua saya yang lahir dan besar di kampungnya di Siborong-borong sana. Masih banyak kisah-kisah sejenis, atau barangkali lebih dramatis dari ini, berasal dari berbagai daerah di negeri ini.
Tafsirnya beragam. Ada yang memahaminya ini sebagai tenaga dalam, kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh setiap manusia. Tetapi untuk mengolahnya diperlukan latihan yang tidak mudah. Prinsip dasarnya adalah mengoptimalkan kemampuan diri sendiri dalam mengelola potensi gelombang yang dimiliki. Nadanya positif.
Tetapi nada sumbang juga bukan tidak mengelilingi praktik-praktik kekuatan semacam itu. Kekuatan gaib, bersekutu dengan setan, sesat dan masih banyak lagi. Nadanya sangat negatif, dan menganggap mereka-mereka yang masih "bergaul" dengan hal-hal semacam itu sebagai masyarakat yang primitif. Kuno dan ketinggalan jaman. Sebab, di mata yang berpandangan ini, mereka anti pada dunia kedokteran modern.
Bagaimanapun tuduhannya terhadap praktik-praktik seperti itu, saya sangat tertarik dengan kisah mertua itu. Sama halnya dengan para anggota legislatif kita yang pada beberapa masa yang lalu sempat memperdebatkan Santet. Menganggap perlu praktik perdukunan itu ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika ketertarikan saya ini "agak-agak", saya pikir sama saja dengan perdebatan santet itu.
Bagi saya ini bukan soal percaya atau tidak percaya, tetapi soal kemajuan gagasan yang sudah ada di era itu. Sesuatu yang orang bilang kuno dan tertinggal tetapi memiliki fakta modern, bahkan melampuai kemajuan yang saat ini sedang terjadi.
Kekuatan tanpa bentuk, mampu mengirimkan benda, itu yang dimaksud para anggota legislatif. Karena benda-benda itu kemudian bermaksud untuk menyakiti. Â Sehingga pelakunya layak diseret ke ranah hukum. Bagi saya, bukan soal kejahatan yang mereka lakukan untuk kasus santet, tapi gagasan pengiriman bendanya. Ini kekuatan futuristik. Karena hingga hari ini, kekuatan nir kabel itu baru bisa kirim gambar dan suara. Seandainya pun ada kiriman makanan, itu karena gofood.
Kala mertua saya menghabiskan masa remaja di kampungnya, telpon itu masih asing. TV juga pasti belum ada, karena siaran pertama TVRI itu tahun 1962, saat Asian Games berlangsung di Jakarta. Tetapi mertua saya sudah menghidupi tradisi pijat jarak jauh. Sulit dipercaya. Dunia nirkabel dalam pemahaman masyarakat masa kini.
Fakta-fakta itulah yang membuat saya berpikir bahwa modernitas dengan segala perangkatnya, itu hanya soal bentuk. Namun gagasan, sudah hidup dan dihidupi jauh sebelum bentuk-bentuk nyata itu mewujud. Sehingga ini bukan soal percaya tidak percaya, kuno atau modern, tetapi soal gagasan yang hidup dan dihidupi. Ini hasil kelana pikiran saya hari ini, bagaimana menurut Anda?