Demokrasi, adalah jalan menuju kesejahteraan. Rakyat memiliki ruang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki. Memiliki kesetaraan pada akses-akses ekonomi, tidak hanya pada akses politik.
Begitu kira-kira tafsir saya atas gagasan demokrasi yang didengungkan dari mimbar-mimbar bebas. Baik yang saya ikuti atau bahkan itu bagian dari materi saya, ketika berdiri di mimbarnya.
Bergerak dari satu kampus ke kampus lain, dari satu kota ke kota lain. Perbincangan belum berhenti, meski kami sudah sama-sama duduk di trotoar sambil ngopi.
Adakalanya perlu lihat kiri kanan, siapa tahu di antara kita ada sosok yang tidak dikenal. Kewaspadaan perlu, setidaknya untuk berjaga agar pergerakan tetap memiliki umur panjang.
Ketika pers dibungkam, sebagian dari kami rela menyisihkan jatah makannya untuk membangun persnya sendiri. Menuliskan gagasan-gagasan tentang demokrasi, penegakan hak asasi manusia, keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan juga kesejahteraan melalui pemerataan akses ekonomi. Mem-fotocopy dan menempelkan di ruang-ruang publik semampu kami.
Lusuh, mata merah, lingkaran hitam di kelopak mata sering menjadi ciri para aktivis. Diskusi, yang tidak bersekat antara kanan dan kiri. menjadi agenda rutin, nyaris tak terjeda. Menyatukan tekad, meneguhkan keberanian, agar reformasi benar-benar terjadi.
Suharto benar-benar turun dari tampuk kekuasaannya. Pengunduran dirinya, menghasilkan histeria para penentangnya. Sorak kemenangan, tangis, dan airmata tumpah di mana-mana ketika lagu Indonesia dikumandangkan. Ini awal dari sebuah perubahan besar yang bernama reformasi.
Itu dulu, 22 tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat ini? Apakah reformasi sudah memberi jawab atas gagasan demokrasi? Gagasan penegakan hak asasi manusia? Gagasan pemberantasan korupsi? Gagasan kesejahteraan sosial? Masih banyak gagasan lainnya tentu saja.
Reformasi memberi ruang yang sangat luas bagi demokrasi. Bahkan demokrasi melahirkan bentuk barunya, penindasan. Atas nama demokrasi, satu kelompok menindas kelompok lain. Tafsir demokrasi menjadi liar, bahkan kadang sulit dipahami dengan analisa literatur baku.
Tidak dapat dipungkiri, demokrasi mengubah tatanan bernegara. Mulai dari konstitusi, struktur birokrasi hingga ke soal remeh temeh. Ketatanegaraan kita menemukan bentuk barunya.
Tetapi bagaimana dengan hegemoni rezim yang terlanjur dihidupi oleh para pelaksana dari bentuk baru ketatanegaraan kita? Di sinilah persoalan itu. Reformasi hanya mengubah wajah, memoles muka, tanpa mengubah paradigma.