Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Status

7 Mei 2020   08:08 Diperbarui: 7 Mei 2020   08:16 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sepanjang sejarahnya, status dimaknai beragam oleh para pemujanya. Tetapi ada yang tidak pernah lekang, keberadaannya selalu menunjukkan bagaimana orang dianggap bernilai.

Saya tidak tahu persis, mengapa media sosial memberi kata “status” untuk tampilan utamanya. Padahal bisa saja penciptanya, entah itu facebook, twitter, instagram, dan yang lainnya menggunakan kata lain. Namun jamak dari kita tetap lebih familiar menyebutnya  ; status. Sebuah kata yang menentukan keberadaan seseorang terkait erat dengan manusia lainnya. Begitu dalam KBBI saya baca.

Status menunjukkan, siapa kita diantara orang lain. Bahkan, ketika orang lain menganggap seseorang bukan siapa-siapa, dapat dengan sekenanya dia dinilai sebagai seseorang tanpa status. Meski status itu melekat. Tetapi begitulah kenyataannya !

Status menentukan bagaimana orang melihat orang lain. Status menggerakkan pula bagaimana seseorang ingin dilihat oleh sesamanya. Clear, ini murni hubungan timbal balik.

Sudah sekian lama, status menjadi tempat bersembunyi atau menyembunyikan sesuatu. Status menjadi tembok, benteng, bagi seseorang untuk mengurung dirinya. Inilah barangkali yang dilihat oleh para pembuat media sosial, mereka tahu bahwa setiap hal yang terkait dengan hubungan antar manusia, selalu saja ada ruang yang dibutuhkan untuk bersembunyi. Wall, dinding atau tembok ! Sehingga seseorang menjadi aman dan tidak terlihat.

Demi status tertentu, ada yang dengan sukarela memanipulasi dirinya sendiri sedemikian rupa. Mengubah apa yang ia kenakan, menentukan makanan apa yang sesuai dengan penampilan,  pergi ke tempat yang memang dianggap layak untuk ia pergi. Tetapi semua itu dilakukan, karena ia ingin orang lain “melihatnya”. Bukan semata-mata karena dirinya ingin demikian. Murni demi like, jempol, seseorang kehilangan kemerdekaannya.

Bahkan, dapat dengan mudah, seseorang mengeksplorasi setiap jengkal tubuhnya untuk dinikmati oleh sesamanya melalui status di media sosial. Sungguh, bagaimana cara orang lain melihat diri kita itu sangat menindas. Karena tidak hanya berhenti di situ, karena sejarah mencatat, semua bentuk penindasan dan prilaku diskriminasi, selalu bermula dari bagaimana orang melihat orang lain.

Ketika kebebasan masih menjadi milik para pemikir. Saat dimana, kaum intelektual masih berkutat pada teori-teori humanism, demokrasi, liberalism. Karena semua hal mengenai kesederajatan, masih menjadi konsep gagasan. Ide yang belum terealisasi di ranah public. Sehingga penentu status adalah penguasa. Elit, yang menganggap dirinya dilahirkan dengan segudang previllege. Dan dengan klaim itulah mereka menindas.

Kini, meski kebebasan telah menjadi bagian dari setiap manusia, tetapi status belum kehilangan eksistensinya. Masih menjadi alat untuk menindas dan merasa tertindas. Tidak perlu cemeti orang menindas orang lain, cukup dengan jempol terbalik, dan tatapan sinis. Itu sudah mirip dengan gaya Jepang dalam memberlakukan romusha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun