Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menemukan Kebahagiaan di Tengah Pandemi: Catatan Seorang Guru

4 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   08:12 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebahagiaan saya menjadi seorang guru itu adalah dapat menyaksikan siswa saya berhasil. Bukan hanya pada soal urusan akademik. Tetapi pada setiap aspek yang membuatnya dapat menemukan caranya sendiri berubah. 

Bergerak dari satu titik ke titik yang lain sebagai hasil dari proses belajar yang telah ia lalui. Pengalaman hidup yang membuatnya memperoleh pemahaman, bahwa ia berarti, yang pada gilirannya mampu menghargai dirinya sendiri.

Setiap siswa memiliki waktu dan cara yang berbeda dalam proses belajar, ini membuat saya sebagai guru mengalami banyak kesulitan. Terlebih guru pada sekolah umum, yang dalam waktu dan cara memiliki ketentuan baku. Kurikulum!

 Sehingga pada titik inilah, klasifikasi memang dibuat atau tanpa sadar tercipta, menggunakan ukuran-ukuran standar. Siswa pintar, sedang atau tidak pintar. Rajin, malas. Bandel, baik, dan masih banyak lagi. 

Tetapi sekali lagi,  guru tidak pernah dapat menolak takdir ilahi, bahwa pada dasarnya manusia terlahir unik. Sempurna sebagai dirinya, meski di mata manusia lain ia berbeda, yang kadang dengan seenaknya dibilang itu sebagai kekurangan.

Tidak mudah memberi penilaian pada karakter dan kepribadian setiap siswa di tengah pembeda yang kadang sangat tegas. Pintar dan bodoh, rajin dan malas, baik dan bandel, dan banyak lagi. Tetapi itulah tanggungjawab, saya guru dan bukan hakim. 

Bertanggungjawab menemukan performa terbaik mereka, bukan menjatuhkan vonis. Berat, sehingga kadang lebih memilih untuk mengajarkan materi saja sesuai bidang studi, barangkali lebih sebanding dengan gaji yang saya terima. Tetapi tanggungjawab itu tetap melekat, saya kerjakan atau tidak. Saya hindari atau hadapi.  

Seperti siswa, guru juga belajar. Sejujurnya, saya lebih sering harus remedial ketimbang murid saya. Bedanya, proses belajar guru tidak perlu dipampangkan dalam uraian hasil belajar yang bernama rapot, meski setiap guru paham benar jika sesungguhnya mereka juga sedang membuat rapotnya sendiri.

Seperti siswa, guru juga beranjak dari satu titik ke titik yang lain. Tidak hanya mendorong siswa melakukan perubahan. Menjadi agen yang hanya berada di titik yang sama meski yang diageni telah beranjak ke titik lain. Tetapi bersama siswa berproses, menemukan takdirnya sendiri menjadi "guru", sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada profesi tersebut.

Realitas seperti inilah, sebagai guru, saya butuh dorongan dan dukungan. Tidak melulu soal uang, meski itu juga penting. Tetapi spirit, termasuk dari mereka, para siswa saya.

Pengumuman kelulusan, beberapa hari yang lalu, merupakan prosesi kelulusan yang tidak  biasa. Dilakukan di masa pandemi covid-19, semua proses, sebelum dan sesudahnya dilakukan tanpa tatap  muka. Namun, justru bagi saya, ada banyak hal yang membekas. Melahirkan kekuatan baru, yang membuat saya kembali disadarkan akan arti dari kekuatan kata-kata.

Memang membahagiakan melihat siswa tertawa lepas karena bahagia telah lulus sekolah. Berhasil melewati satu tahapan,  barangkali tahapan terpenting. Karena pada masa ini, masa SMA, adalah masa mereka mencari dan mulai menemukan jati diri. 

Sementara saya bahagia, karena telah menjadi bagian dari penggalan hidup orang-orang hebat nantinya, dan sukses menghantarkan mereka ke gerbang kehidupan selanjutnya.

Tetapi tanpa melihat ekspresi dan tawa lepas, bukan berarti saya tidak menemukan ganti kebahagiaan tersebut. Siswa-siswa saya ternyata memiliki caranya sendiri yang tidak terduga untuk membuat saya, gurunya, tetap merasakan pancaran kebahagiaan mereka. Beberapa diantara mereka menulis chat yang panjang ke saya. 

Padahal, saya juga tahu, nilai menulis mereka tidak terlalu baik. Tetapi secara ekspresif mampu menggambarkan kebahagiaan dan terimakasihnya yang tulus pada kami, gurunya. Mengejutkannya lagi, beberapa diantara mereka, adalah siswa yang di mata kami ; bermasalah. Ketika membacanya, entah mengapa, mata saya berkaca-kaca.

Tuhan selalu membukakan jalan, bagaimana saya menemukan kebahagiaan, kekuatan dan keberartian, di tengah pandemi sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun