"Cinta itu, seperti pasir di dalam genggaman. Semakin erat kamu menggenggamnya, maka semakin banyak yang akan berhamburan keluar."
 Sepertinya, para pujangga cinta itu hidup di pantai. Sehingga dengan mudah ia menemukan pasir, sang cinta itu. Sementara, bagaimana dengan mereka yang hidup di pedalaman hutan hujan tropis? Rawa tak berkesudahan sepanjang lelah mata memandang. Jangankan pasir yang hendak digenggam, kerikil untuk melempar buah pun tidak mudah di dapat.
Mungkin ini juga alasan para pemuda di kampungku melanglang buana, meninggalkan belantara. Menemukan pasirnya! Berjemur di sengatan matahari dalam buaian  lembut sang cinta. Aku juga bermimpi, suatu saat nanti, akan mengikuti jejak  mereka, para petualang itu. Â
Tetapi aku juga akan belajar dari kesalahan mereka dengan genggaman bodohnya. Membiarkan pasir yang telah dengan sangat melelahkan mereka peroleh, berhamburan.Â
Padahal genggaman mereka tidak terlalu erat. Mungkin saja, pasir dalam genggaman mereka itu terlalu  liar. Sehingga mudah berserakan , meski tidak digenggam.
Aku berjanji, jika kelak memang harus pergi dan jika Tuhan berkehendak menemukan pasir di sana, entah dimana itu. Pantai, gunung, sungai, atau bahkan di toko material sekalipun. Ia tidak akan pernah kugenggam.Â
Sudah kupersiapkan rantang untuk membawanya pulang. Rantang emakku, tempat menaruh bekal makan siang bapakku. Kurasa itu jauh lebih baik ketimbang hanya mengandalkan telapak tangan untuk menggenggam.
Tanpa kupikirkan pun waktu terus berjalan. Mengalirkan alur kehidupanku. Kadang, waktu mengubah banyak hal, tetapi pernah juga membawaku menemukan catatan masa lalu. Â
Aku jadi teringat pasir. Sesuatu yang pernah menginspirasiku untuk meninggalkan belantara. Menikmati pesonanya. Berbaring hangat dalam dekapannya. Kurasa pasir itu akan merubah kehidupanku. Pemuda hutan hujan tropis yang  bersahabatkan gambut dan rawa menemukan pasirnya. Dan aku belum lupa, membawa serta rantang emakku.
Kini aku telah menemukan pantai, tempat pasir berada. Keberadaannya ternyata bukan seperti yang kukira. Hanya ada beberapa menunggu untuk digenggam. Tetapi ini, hamparan.
Dengan berjuta pesonanya. Siapa pun tergoda untuk menghamburkannya. Tidak ingin menggenggamnya erat. Selalu saja ada pasir untuk digenggam, lagi, lagi dan lagi. Pada titik ini aku pun berhenti. Ini bukan cinta.