Pernah punya KTP DKI Jakarta, tapi itu dulu, waktu belum laku. Rasanya seneng banget, ada gambar monasnya. Ternyata, itu bukan sekedar selembar kartu identitas. Lumayan, bisa buat menaikkan rating. Menggoda mereka yang sulit tergoda.
Waktu pulang kampung, ingin rasanya KTP digantungin di leher. Seperti id card orang kantoran yang bisa digunakan untuk masuk gedung itu. Jadi nggak perlu bikin pengumuman, tapi orang-orang langsung pada tahu. Nih gue orang Jakarte.
Kesampaian juga spirit lagu Chica Koeswoyo, yang sewaktu SD sering saya nyanyikan. Judulnya, Kota Jakarta.
Mudah-mudahan kali ini saya tidak salah. Kalau ternyata bukan dia penyanyinya, dan bukan itu judulnya, mohon maaf. Soalnya waktu itu denger lagunya dari kaset yang sudah ilang gambar covernya. Pinjam tetangga, itupun pitanya udah ngelokor-ngelokor. Jika di bongkar, beberapa bagiannya sudah di sambung.
Masih ingat, jika nada lagunya sudah memanjang atau memendek, suara satu udah bercampur suara dua, pasti ada yang salah. Pemutar kaset yang ada di bagian dalam tape recorder sudah keberaten, gulungan pitanya seret.
Solusinya sederhana. Tidak perlu dibawa ke tukang reparasi supaya ditambahi personil pemutar kaset. Cukup keluarkan kaset, pegang dengan tangan kanan, tepok- tepokkin ke tangan kiri. Sampai sekrupnya  longgar. Mudah-mudahan nggak seret lagi. Tapi ingat, jangan terlalu keras nepokinnya, bisa ambyar!
Penting diingat, saat ngeluarin kaset, hati harus bener-bener lagi senang. Karena, ini rawan penyimpangan. Maksud hati memperbaiki, tetapi justru bisa jadi ajang meluapkan kekesalan. Bisa beda hasil akhirnya.
Tinggal dan jadi orang DKI Jakarta, Ibukota negara itu, rasanya, sesuatu banget.  Setidaknya, saya jadi tahu bagaimana deg-degannya teman-teman dari Kaltim. Takut juga ini jadi proyek mangkrak. Kan PHP jadinya. Makanya, saya sih berdoa agar pemindahan ini benar-benar bisa terealisasi. Nggak bikin banyak orang kecewa, sakit.
Sejak menikah dengan gadis Jakarta, saya malah di ajak pindah. Gaji nggak cukup buat nyicil rumah tapak di ibukota. Waktu itu belum ada program beli rumah DP 0 %, eh 0 rupiah. Sayang juga, saya lahirnya kecepetan.
Meski begitu, saya masih punya sisa-sisa kebanggan masa lalu itu. Tiap pagi, sebelum ayam berkokok, saya sudah berkemas. Takut rezekinya keburu kepatok ayam, saya berangkat ke Ibukota untuk bekerja sebelum mereka bangun.
Mimpi yang belum sempet kelar, saya sambung di angkutan kota. Cuma kadang sinyalnya jelek, sambungan ceritanya beda. Apalagi jika nggak kebagian kursi di Tranjakarta, sambungan mimpinya jadi buruk. Sebentar-sebentar tergagap, saat bis di gas sama direm. Belum lagi, seringkali dalam mimpi saya itu, saya dibayang-bayangi oleh penyakit sulit tidur.