Menjelang natal, bagi saya, kota Salatiga berasa lebih sepi. Teman-teman, begitu memasuki masa liburan. Langsung bergegas meninggalkan Salatiga, pulang kampung. Apalagi yang kampung halamannya di pulau Jawa.
Penghuni kos-kosan yang tinggal, rata-rata adalah mahasiswa yang kampung halamannya ada nun jauh di mato.
Deret rumah kos, yang biasanya dihuni belasan orang,  tinggal dua atau tiga saja. Mereka yang  kampung halamannya jauh, di Barat atau di Timur Indonesia.  Mirip lagu dari Sabang sampai Merauke, yang diantaranya tidak disebut.
Butuh berhari hari di bus antar kota antar propinsi, atau berhari-hari di atas kapal. Belum musim tiket pesawat murah. Kiriman orangtua, tak cukup, karena banyak juga yang kuliah karena modal beasiswa.
Meski belum ujung barat, tetapi butuh tiga hari naik bis untuk ke kampung saya. Itupun jika tidak berputar-putar melalui jalan lintas timur Sumatera. Sementara, teman-teman Indonesia Timur, ada yang butuh seminggu jalan laut, di sambung jalan darat. Libur dua atau tiga minggu, bisa hanya dua atau tiga hari sudah harus berangkat lagi.
Ketika menuliskan ini, saya teringat beberapa orang teman. Jorgen, Otto, Toni, Nixon, Titus, Ona Bonay, dan beberapa yang lain, saya lupa namanya. Teman-teman Papua saya, sekian dari para mahasiswa yang setiap Natal harus menahan rindu pada keluarga dan kampung halaman.
Saya butuh waktu dua setengah tahun untuk bisa melihat kampung halaman. Sementara mereka perlu waktu lebih lama, bahkan ada yang hingga selesai kuliah, baru pulang kampung.
Menempuh pendidikan di luar daerah, adalah perjuangan berat bagi kebanyakan teman-teman Papua saya saat itu. Terlebih adanya kesenjangan pendidikan antara Papua dan Jawa, menambah berat proses itu, karena mereka perlu banyak penyesuaian. Selain kendala budaya dan juga makanan.
Komunikasi masih sangat terbatas. Zaman di mana Wessel pos adalah barang yang sangat berharga. Itu pun juga jadi persoalan, karena kadang datangnya tak tentu kapan. Saya dan mereka hanya bisa pasrah. Karena perlu tulis surat untuk tanya, "kenapa telat kirim?" Sebulan kemudian baru datang balasan.
Saya membayangkan, apa jadinya jika lingkungan di mana teman-teman Papua, para pejuang rindu itu tidak memberi dukungan. Lingkungan yang kondusif untuk banyak penyesuaian yang harus dan terpaksa mereka lakukan. Apalagi mendiskriminasi mereka. Entahlah.
Saya tidak ingin berandai-andai. Karena yang saya tahu dan jalani selama enam tahun ada di kota ini, Â menimba ilmu di UKSW Salatiga. Saya cuma menemukan banyak cinta di dalamnya.