"Ini gimana sih ma?"
"Baca lagi donk yang benar! Jangan belum apa-apa udah nanya!" Jawab istriku berkeras.
Bocah kelas empat SD itu kembali ke tempatnya semula. Lesu dengan buku lusuh  di tangannya. Bergabung dengan saudara lainnya di ruang belajar.
Aku hanya mengamati, tak ingin mencampuri. Meski tak pernah ada batasan tegas, itu adalah wilayah istriku. Tetapi belajar memahami, bagaimana dia membangun tradisi. Termasuk ketika membangun kebiasaan bagaimana anak-anak kami belajar.
Karena jika mencampuri, belum tentu aku dapat menuntaskan apa yang sudah kumulai. Mungkin hanya memenggal di tengah ritme, barangkali justru dapat merusak tatanan yang telah dia awali. Meski, kadang aku merasa harus melakukannya.
Di mata anak-anakku, istriku adalah mama terbaik. Kadang kugoda betapa galaknya mamanya, tetapi tidak bagi mereka. Justru anak-anakku selalu bilang, merekalah yang selalu bikin kesal mamanya. Karena jika mama marah, berarti mama sayang. Begitu mereka memberi penegasan.
Aku tidak tahu bagaimana istriku mengindoktrinasi dan menanamkan nilai itu pada gadis-gadis kecil kami. Tetapi mungkin, kasih sayang memang tidak selalu harus dikatakan. Karena perbuatan lebih menunjukkan kasih sayang itu.
Beberapa tahun lalu, istriku memutuskan berhenti bekerja. Keputusan yang secara ekonomi sulit dipahami. Gajiku, tidak cukup kuat menopang seluruh kebutuhan keluarga jika dikalkulasi. Tetapi keputusannya untuk mendampingi anak-anak, lebih utama dari pertimbangan lain. Terlebih ketika belakangan pengasuhan anak-anak menjadi persoalan serius.
Ibu yang bekerja, tiba-tiba menjadi ibu penuh waktu yang mengurus keluarga, aku yakin tidak mudah. Kesibukan yang biasanya menenggelamkan hari-harinya, berganti dengan rutinitas dalam kesunyian di rumah. Bisa saja, itu sangat membosankan. Tetapi, istriku bertahan.
Setiap pagi, ia mengawali hari dengan instruksi demi instruksi. Ada saja beragam prilaku yang membuat instruksi semakin tegas terdengar. Mama, adalah tetap mama. Selalu ada peluang untuk gadis-gadis kami melanggar dan mengulur-ulur waktu. Padahal, semua aktifitas itu berkejaran dengan waktu. Jika tidak ingin terlambat sampai di sekolah karena terjebak kemacetan jalanan.
Kerasnya jalanan pinggiran ibukota, tidak menyurutkan nyalinya mengantarkan anak-anak tepat waktu. Ia bukan hanya mama, tetapi juga supir tangguh bagi anak-anakku. Menunggu dengan setia, hingga bel pulang sekolah berdentang. Adakalanya, di waktu-waktu menunggu, dia harus membereskan banyak hal dirumah yang tertunda.