Untuk melihat bagaimana egoisnya seseorang. Perhatikanlah ketika ia melihat foto. Perhatiannya langsung pada dirinya sendiri. Tidak penting sebagus apapun momennya, jika tidak ada dirinya, foto itu sebenarnya tak terlalu menarik. Kecuali hanya sekedar basa-basi. Tetapi seburuk apapun momennya, jika ada dirinya, maka itu pasti akan menarik.
Jika buruk, bisa buat bahan tertawaan bersama. Jika bagus, share, jadikan foto profil di sosial media. Biar semua orang tahu. Itulah kita, disadari atau tidak demikianlah adanya.
Perkembangan teknologi fotografi, menggusur profesi fotografer professional. Utamanya, tukang foto di tempat-tempat wisata, Â sepi peminat. Kecuali jasa layanan memotokan menggunakan perangkat foto yang meminta tolong. Selfie dan wefie jadi tren.
Urusan foto-memoto jadi sangat mudah, demikian juga penyebarannya. Sosial media menjadi pengganti album yang berfungsi ganda. Menyimpan, sekaligus menuntaskan kebutuhan pemilik foto, dilihat orang lain. Padahal disisi yang lain orang lain hanya senang melihat dirinya sendiri. Membingungkan.
Berburu spot foto, menjadi kebutuhan lain. Penyedia layanan ini laris manis. Bahkan berhasil mengubah fungsi wisata, dari urusan refresh menjadi urusan selfie. Sebagian orang, setiap jejaknya ingin teridentifikasi, baik oleh dirinya sebagai kenangan atau bagi orang lain sebagai bentuk lain dari eksistensi.
Industri wisata menggeliat. Banyak tempat yang selama ini hanya "onggokan" dieksplorasi menjadi spot foto yang unik. Kulineran juga bukan hanya sekedar soal rasa, tetapi juga soal dekorasi. Pamer bergulir menjadi industri. Menggembirakan, sekaligus memprihatinkan. Paradoks.
Sosial media memaksa pecandunya memaknai eksistensi dari up date status dan foto yang ditampilkan. Hasrat ini, karena berbagai kemudahan terfasilitasi dan memanjakan penikmatnya.Â
Dunia berevolusi lebih cepat dari era sebelumnya. Mengubah wajah peradaban. Segala sesuatu yang ditabukan, menjadi sesuatu yang menarik dibicarakan. Inilah dunia kita saat ini. Ada yang siap, banyak pula yang terpinggirkan.
Arusnya sangat deras, siap atau tidak, gelombangnya sampai juga. Ini dari satu perspektif, soal foto dan kegemaran terpendam manusia; pamer. Belum pada soal-soal lain. Lantas apa yang bisa kita buat? Memaki dan mencoba berlaku anti pada realitas ini? Bisa stroke!
Jadi ingat dengan filosofi peselancar. Gelombang yang berabad-abad menjadi ancaman, bagi mereka itu semua adalah anugerah. Mereka datangi, bukan menantang, tetapi menaklukkan, agar dapat menghasilkan tarian-tarian indah di atasnya. Bisa nggak ya? Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H