Aku masih menengadah. Di keremangan cahaya lampu minyak yang menempel di dinding papan. Sorot sayu rembulan, malu-malu menembus genteng. Diantara lubang yang tak sempat ditambal bapakku. Nun jauh di atas sana, tak sedikit pun awan. Bintang-bintang, dalam kerlipnya memamerkan keindahan mereka. Tidak ada pengganggu yang mereduksi pesonanya.
Kubuka pintu, tanpa permisi, cahaya rembulan merangsek masuk. Menyesak mengusir kegelapan yang selama ini mengakrabi setiap malamku. Purnama. Cahayanya mengkuatirkanku, taburan bintang menggelisahkan pikiranku. Aku tak ingin begini hingga esok. Aku ingin awan segera bergelayut. Mengusir semua keceriaan malam ini.
Aku tidak ingin beranjak dari keremangan. Kubiarkan purnama melumuri tubuhku dengan cahayanya yang tak kuinginkan. Kupejamkan mata, perlahan nama Tuhan kusebut. Tepat di tengah pelataran rumahku. Tidak ada siapapun, sunyi. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Kerlip lampu minyak rumah tetangga tertutup semak. Cahayanya hanya terlihat diantara hembusan angin yang menggoyang gulma yang telah tumbuh tinggi . Â Menutup kiri dan kanan halaman rumahku.
Kuberanikan diri berdiri di tempat ini. Menikmati kesunyian, berbicara hanya dengan Dia, yang kupercayai mampu mengubah segala keadaan. Ia berkuasa mengubah cuaca. Dalam rintih pedih, kusampaikan satu permintaan ; "Tuhan, aku ingin Engkau kirimkan hujan."
Aku bukan petani yang sedang dilanda kekeringan. Bukan pula sedang simpati pada para petani yang bersiap untuk bertanam. Aku hanya seorang anak yang sedang belajar bagaimana menjadi orang dewasa. Menikmati kebahagiaan hanya gara-gara perasaan aneh ketika melihat seseorang berjalan di depanku. Ia tidak perlu sampai menyapaku, apalagi berbalik lantas tersenyum. Seperti dalam film di TV hitam putih yang sering kutonton dipelataran balai desa.
Aku hanya ingin melihat seorang gadis menuntun sepedanya lewat depan rumahku. Itu hanya terjadi ketika hari hujan. Saat tidak ada lagi jalan terdekat menuju sekolah yang dapat ia lewati. Memutar, dan lewat depan rumahkulah satu-satunya alternative. Mulanya, ia seperti gadis-gadis teman sekolahku lainnya.
Ia tidak mengubah penampilannya. Membiarkan rambutnya terurai, senyumnya masih begitu-begitu saja. Tetapi aku mengubah hatiku untuknya. Setiap kali hujan datang, tidak hanya air yang dicurahkan, tetapi juga kegelisahan. Menunggu gadis penuntun sepeda itu. Ia berhasil memporakporandakan hatiku. Hingga akhirnya aku selalu memohon hujan pada yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H