"Nggak mudik pak?" tetangga depan rumah pagi-pagi sudah nanya begitu. Saya cuma menggeleng. Sementara beberapa hari sebelumnya, sisulung  juga sudah minta; "ke Jawa donk pa!" Saya juga cuma tersenyum. Apalagi malam tadi, istri saya tertawa geli saat anak-anak bilang, "Papa kan dapat THR." Mereka sepertinya menyimak pidato presiden.
Sambil tiduran, anak saya mengabsen, kemana teman-temannya berlibur. Si A ke Bali, si B ke Singapura, Si C pulang kampung dan seterusnya. Terus kita kemana donk? Pertanyaan itu menjadi ujung dari penjelasannya. Lagi-lagi, saya juga cuma tersenyum. Mau kasih alesan, jalanan macet. Berbagai berita menginformasikan jika jalanan lancar jaya. Mau bilang, anggaran lagi cupet, ah, pamali. Akhirnya, pasca senyum-senyum, saya kasih alternative solusi. Liburan kali ini, kita akan keliling Jakarta naik Bis Tranjakarta. Karena belum pernah, tertawa girang juga mereka. Padahal, disaat bersamaan, saya juga sedang mengelus dada.
Menurut saya ini kesempatan baik untuk mengajak anak-anak mengenal ibukota negaranya. Meski kesannya jadi penuh manipulasi, karena berbeda dengan realitasnya sehari-hari. Tetapi kapan lagi, mumpung hanya dengan tiga ribu limaratus rupiah, kita bisa melenggang menyusuri ibukota nan sepi.
Perjalanan akan saya mulai dari terminal Pinang Ranti ke Kota. Di sana saya akan bercerita pada anak saya tentang Indonesia di era kolonialisme. Penjajahan yang juga meninggalkan jejak, berupa karya arsitektur yang megah di eranya. Mulai stasiun kereta api Beos, Gedung balaikota Batavia, Musium Wayang, Museum Bank Mandiri, Museum BI, dan masih banyak lainnya.
Ketika melintasi Kawasan Senayan, saya akan menjelaskan bagaimana besarnya pengaruh presiden Indonesia pertama, Soekarno. Tokoh yang menghipnotis dunia dengan kepiawaiannya membangun diplomasi. Lalu bagaimana dia mencoba membangkitkan harga diri bangsa di tengah masyarakat global hingga akhirnya Stadion GBK yang legendaris itu dibangun. Tetapi karena materinya terlalu berat, mungkin cerita bagian ini akan saya urungkan.
Hanya dengan naik Tranjakarta dua jurusan ini saja, saya yakin sudah nyaris seharian. Bisa jadi, perjalanan pulang ke Pinang Ranti, sudah menjelang malam. Jadi perjalanan semakin lengkap. Karena dalam kelelahan, kami bisa menikmati indahnya ibukota di malam hari. Semoga apa yang saya bayangkan, dapat terwujud nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H