Laju angkot yang tumpangi melambat. Biasa, apalagi jika tidak disusul kemudian dengan kemacetan. Jakarta, begitulah adanya. Sehingga meski terganggu, tidak ada yang benar-benar ingin mengubahnya. Kutukan kota besar!
Pria setengah baya, menjinjing tas plastik penuh tissue menghampiri. Memanfaatkan angkot yang berjalan perlahan. Sambil menawarkan dagangannya, juga menyampaikan informasi. Mungkin dibenaknya informasi itu kami perlukan. "Tol becak kayu ambruk." Serunya. "Kali Malang Macet parah." Ia menambahkan.
Saya tersentak, beberapa penumpang lain juga. Reaksi kami, diam. Tetapi saya yakin, otak kami masing-masing sedang bekerja. Membangun gambaran visual atas apa yang terjadi.Â
Melukiskan kata "ambruk" yang baru saja kami dengar. Ketergesaan membuat saya tidak sempat membaca berita, mungkin saja info tersebut sudah bertengger di sana. Lengkap dengan gambar, sehingga tidak perlu membuat saya merekonstruksi apa yang terjadi.
Kata "ambruk' memenuhi ruang pikir saya. Mengganggu. Informasinya sepotong, tidak lengkap apalagi tuntas. Tidak jelas dimana, bagaimana, apa penyebabnya, kapan dan informasi dasar lainnya.
Karena bapak pengasong itu jelas bukan pewarta. Jadi dia sama sekali tidak memerlukan kajian-kajian jurnalistik untuk menyampaikan informasi. Tetapi itu justru membuat para pendengarnya, orang-orang seperti saya liar berimajinasi. Bebas menafsir.
Begitu angkot tepat melewati TKP, kata "ambruk" yang saya dengar tidak seperti Imajinasi visual saya. Â Pilihan kata pewarta, tidak salah. Penggalan informasi menjadikan ruang tafsir bergerak sangat liar. Meski tetap saja, saya sangat prihatin dan berduka atas apa yang saya lihat.
Itulah dunia kita saat ini. Penggalan-penggalan informasi bersiliweran. Tidak lagi memenuhi kaidah standar sebuah warta. Internet menjadikannya demikian. Semua merasa memiliki hak yang sama menjadi pewarta. Saksi dari peristiwa. Dewan redaksi, profesi yang perlahan kesepian dan perlahan menghilang dari peredaran.
Kata-kata, dengan segala ancaman dan kelembutannya bebas menembus sekat. Penerima informasi, juga memiliki banyak ruang untuk menafsir dan membangun imajinasi visual sesuai kepentingan dan seleranya.Â
Pada situasi seperti ini pulalah, kini ditahun politik, para pemelintir berita bekerja. Laris manis. Tidak lama lagi, atau sudah malahan, ruang-ruang pribadi kita dipenuhi oleh sampah kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H