Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoal Relevansi Mayoritas Minoritas bagi Keindonesiaan

1 Desember 2017   07:42 Diperbarui: 1 Desember 2017   08:01 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menguatnya politik identitas dan munculnya istilah-istilah sektarian seperti mayoritas-minoritas, pribumi dan non pribumi, membuat saya mengingat beberapa poin yang pernah dilontarkan seorang dosen senior dalam diskusi-diskusi di kampus. Ada dua hal setidaknya yang berhasil saya rekam, terkait fenomena yang kini sedang mengemuka. Pertama, pandangannya tentang Indonesia sebagai sebuah fenomena baru dan kedua tentang perspektif mayoritas dan minoritas.

Beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah fenomena baru. Hasil dari konsensus berbagai elemen masyarakat. Hadir pasca kolonialisme. Keberadaannya ditegaskan melalui proklamasi 17 Agustus 1945. Sehingga proklamasi hendaknya dimaknai sebagai langkah awal, deklarasi negara baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Karena pemaknaan tersebut akan berdampak bagi proses memahami konteks keIndonesiaan secara lebih tepat.

Komponen pembentuk negara baru itu, realitasnya beragam. Bersepakat, karena didasari oleh persamaan kedudukan, baik hak maupun kewajiban. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Karena pada hakikatnya, tidak ada orang atau kumpulan orang-orang yang dengan sukarela bergabung pada kelompok tertentu, hanya untuk ditindas dan ditiadakan keberadaannya. Lantas mereka yang bersepakat tersebut berkontribusi sesuai dengan apa yang dimiliki. Banyak memberi banyak, sedikit pun juga disesuaikan. Itulah keIndonesiaan yang dibangun itu.

Sejarah hendaknya ditempatkan sebagai proses, dinamika bagaimana menjadi Indonesia. Bukan untuk mengembalikan Sejarah. Karena jika mengembalikan sejarah, maka Indonesia bisa menjadi Sriwijaya, Majapahit atau kerajaan-kerajaan besar lainnya yang pernah berkuasa. Sementara Indonesia bukan untuk itu kehadirannya. Tetapi bagaimana Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Ternate, Tidore dan yang lainnya itu membangun kesepakatan luhur menjadi Indonesia.

Pada konteks itu, mayoritas tidak dapat dipahami hanya dari sisi populasi. Tetapi juga perlu dilihat, sumber daya alam yang melekat, dan 'dikuasai' oleh populasi itu. Daerah A misalnya, benar jumlah penduduknya banyak, sehingga satu orang hanya menguasai beberapa meter persegi. Tetapi daerah B, memiliki jumlah penduduk sedikit, sehingga satu orang bisa menguasai beberapa kilometer persegi. Ini menjadi penting, karena menyangkut kontribusi mereka bagi Indonesia. Menjadi tidak adil misalnya, realitas yang terjadi di daerah A menjadi ukuran secara otomatis untuk mengatur kebijakan secara keseluruhan. Karena dari sisi jumlah mereka mayoritas. Ini baru satu aspek, soal hubungan populasi dengan SDA. Masih banyak hal lain soal kontribusi pada Indonesia yang tidak dapat hanya diukur dari jumlah banyaknya orang.  Perlu dilihat berbagai aspek yang lain dalam membuat kebijakan.

Artinya, perlu terus dibangun pemahaman bahwa Indonesia itu milik bersama. Rumah besar kita, begitu banyak didengungkan. Ada yang memiliki banyak, otomatis dia akan memberi banyak, sedikit pun bukan lantas disingkirkan keberadaannya. Karena prosesnya adalah saling melengkapi. Tidak perlu ada yang merasa telah berbuat lebih dibanding yang lainnya, sehingga harus berkuasa. Karena Indonesia adalah hasil dari kesepakatan bersama.

Sedikit ingatan dari hasil diskusi POSKOPAM LK UKSW dengan Pak Jhon Titaley 1998

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun