Kemarin saya menulis tentang perlunya melihat esensi dari setiap perubahan. Ini bermula dari kegelisahan. Sengaja saya tuliskan, kalau saya simpan sendiri takutnya nanti bisa jadi jerawat. Tetapi bukan berarti juga saya sedang membagi duka dengan kegelisahan-kegelisahan itu. Siapa tahu, dari sekian teman-teman pembaca, ada yang beranggapan jika kegelisahan saya itu tidak beralasan. Syukur saya bisa dapat perspektif yang berbeda. Ini karena saya menganggap teman-teman, para senior, di kompasiana ini adalah keluarga.
Dulu sewaktu saya masih SMA, di kampung, banyak orang tua yang kesulitan mendorong anak-anaknya untuk bersekolah. Bahkan diantara mereka ada yang bilang : " padahal sudah tak beliin motor, tetapi tetap saja, sekolahnya malas-malasan." Bagi sebagian teman, motor menjadi simbolisasi bahwa dia keren, mengikuti trend. Padahal banyak diantara mereka tidak memiliki SIM. Orang tua juga bangga, kalau anaknya meski belum cukup umur sudah bisa bawa motor. Bukan lagi manfaatnya yang utama, tetapi gaya dibaliknya.
Di blog lain, saya pernah menulis, orang-orang zaman ini, maunya yang praktis-praktis. Dulu makanan itu bungkusnya daun, era plastik datang, semua serba diplastikin, tak terkecuali juga lontong atau juga tempe pada saat proses pembuatannya. Tetapi persoalannya, prilakunya masih sama seperti dulu saat semua bungkus makanan masih mengandalkan daun. Buang sampah plastik seenaknya, jika sudah menumpuk, bakar. Sewaktu masih pakai daun, Â bisa jadi humus, pupuk organik. Tetapi setelah era plastik, Anda bisa cari sendiri apa dampaknya.
Belakangan ini orang Jakarta juga meributkan soal trotoar. Mulai dari trotoar Tanah Abang yang di okupasi pedagang hingga soal trotoar Thamrin-Sudirman yang kabarnya akan didesign agar pengendara motor pun menikmati keberadaannya. Alasannya, keadilan. Jika sebelumnya pejalan kaki bisa sedikit lega, kini mulai kehilangan itu lagi. Padahal para pejalan kaki, saya termasuk "anggotanya" , belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan. Lah kok sekarang ada wacana balik lagi ke era penjajahan.
Tiga realitas ini memiliki tiga perspektif tafsir atas perubahan. Pertama, perubahan diartikan sebagai trend gaya hidup. Orang menjadi tidak percaya diri jika tidak mengikuti trend itu, termasuk dalam urusan memiliki symbol-symbol trend itu. Nggak bawa motor, nggak ngetrend. Ketinggalan. Ketimbang dianggap nggak ngetrend, anak-anaknya minder dalam bergaul, beberapa orang tua merelakan sebagian tanahnya untuk diwujudkan jadi barang yang jadi symbol trend itu. Kekeliruan memahami perubahan, membuat beberapa teman saya tidak mengenali potensi dirinya yang dapat dijadikan sebagai sumber percaya dirinya. Ketimbang bergantung pada benda yang bernama sepeda motor.
Kedua, perubahan hanya ditangkap dari bendanya tetapi bukan prilaku yang menyertai benda tersebut. Perubahan diambil kulitnya, bukan isinya. Buang sampah saja belum terampil, apalagi mesti memilah bagaimana buang sampah yang benar sesuai jenis sampahnya. Mobil boleh bagus, buang sampah belum tentu bisa. Ribut-ribut baku hantam di jalanan oleh satu keluarga besar tempo hari jadi contoh konkret kenyataan ini.
Ketiga, perubahan itu, berarti beda. Beda itu artinya tidak sama dengan yang sebelumnya. Di Jawa ada ungkapan "ojo waton bedo", jangan asal beda. Perlu sebuah kearifan dalam mencermati sesuatu. Jangan segala sesuatu yang dibuat dipikirkan atau diungkapkan oleh orang yang tidak disukai itu otomatis pasti salah.Â
Tanpa melihat lagi alasan-alasan objektif, kenapa dia buat ini atau itu, dia berpikir begini atau begitu, atau dia melakukan ini atau melakukan itu. Pokoknya salah aja, titik! Sehingga perlu dibuat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Padahal apa yang dibuat itu sebenarnya begitulah seharusnya, siapapun orangnya yang semestinya bertanggungjawab untuk membuat. Kebijakan yang merebut yang pejalan kaki, menurut saya mengindikasikan hal ini.
Setidaknya tiga poin ini dululah yang saya tuliskan, masih banyak sebenarnya kegelisahan-kegelisahan saya yang lain. Saya juga bersyukur sebenarnya dengan segala kegelisahan ini, setidaknya jadi punya bahan untuk menulis, dan terus bersilaturahmi dengan teman dan senior di Kompasiana ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H