Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempe Sosialis dan Tempe Kapitalis

27 September 2017   21:48 Diperbarui: 27 September 2017   22:28 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mbok Ginem resah, tersebar kabar jika para pembuat tempe wajib mengikuti diklat pembuatan tempe tingkat dasar hingga mahir. Karena kelak, tempe yang boleh beredar hanya tempe yang dibuat oleh orang-orang bersertifikat. Bukti bahwa memang pembuat tempe tersebut memiliki kemampuan dibidang pertempean. Isunya beredar sangat santer.

Mengikuti diklat berhari- hari, bisa menjadi masalah buat Mbok Ginem. Hidupnya hari ini dan sehari kemudian ditentukan oleh  tempe-tempe produksinya yang terjual di hari itu. Sehari tak bekerja, ada dua hari peluang hidupnya menurun kualitasnya. Bertahan pada kebaikan rentenir pojok pasar, yang seringkali tersenyum nyengir penuh kemenangan. Belum lagi, diklat yang dimaksud adalah cara membuat tempe. Sesuatu yang sudah ia hidupi dari masa kanak-kanak hingga kini sudah menjanda dua kali.

Mbok Ginem sudah tak muda lagi, dalam urusan pertempean, tak diragukan, bahkan mungkin tangannya sudah mengandung ragi tempe, setiap menjamah kedelai secara otomatis kedelai-kedelai itu akan mengubah dirinya menjadi tempe. Namun belakangan, Mbok Ginem mulai ragu pada dirinya sendiri, ia mulai tidak yakin apakah dirinya memang seorang pembuat tempe. Para makelar tempe yang jumlah sekolah yang ditelennya banyak, bahkan diantaranya dari luar negeri ramai-ramai mempersoalkan tempe Mbok Ginem.

Mbok Ginem ternyata dalam proses pembuatan tempenya tidak memiliki standar operasional prosedur. Tidak memiliki sertifikat keahlian dalam urusan pertempean, tak cukup jika keahliannya hanya berdasar testimoni konsumennya. Meski semuanya bilang; tempe Mbok Ginem uenak tenan. Mesti ada bukti hitam di atas putih yang dapat menunjukkan kepakarannya dan itupun harus dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi. Kondisi itu diperparah, Mbok Ginem tidak terafiliasi pada asosiasi tempe manapun, bahkan selevel local sekalipun. Tempenya juga tak terstandar, karena ternyata Mbok Ginem belum pernah mendaftarkan produknya.

Makelar tempe punya solusi untuk Mbok Ginem, agar ia tetap dapat memproduksi tempenya, ia harus memiliki lisensi. Jika terlalu mahal punya lisensi sendiri, Mbok Ginem bisa punya alternative franchise. Harganya bisa dinego, bisa dicicil menggunakan system bagi hasil. Untuk itu semua, diklat adalah caranya. Tahap-demi tahap Mbok Ginem akan diajari cara membuat tempe sesuai standar organisasi. Kalau sebelumnya tanpa SOP, kini wajib. Lalu tidak boleh lagi kini ada sebutan tempe Mbok Ginem, tetapi harus pakai nama Diana Javas Food. Mbok Ginem, Mbok Ginem, nasibmu!

Refleksi ngawur efek malem kamis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun