Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buat Anak Kok Coba-coba! (Tulisan Ringan dari Guru dan Orang Tua mengenai Sekolah Sehari Penuh)

9 Agustus 2016   06:29 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:00 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan masih mengguyur sepanjang perjalanan Kampung Melayu-Pondok Gede, pengap angkot semakin menjadi. Dinginnya udara luar tak menembus kaca Kijang Tua yang tertutup rapat. Naik angkot memang celaka jika hujan begini. Kaca jendela dibuka, air hujan mengguyur, di tutup mahluk penghuninya harus berebut oksigen yang terbatas, plus bau beragam aroma orang-orang pulang kerja. Di tengah kepengapan, saya penasaran dengan bunyi bip  hp di kantong baju yang sedari tadi seperti bersahutan. Pasti ada yang lagi seru diperbincangkan di grup WA.

Benar saja, postingan seorang teman memancing banyak teman lain bereaksi. Ini perihal gagasan Mendikbud baru yang mewacanakan sekolah seharian penuh untuk siswa pendidikan dasar (SD dan SMP ). Perasaan sebagai seorang guru, saya masih terkagum-kagum (baca ; bingung) dengan gagasan kurikulum 2013, lah kok ini ada wacana spektakuler lagi. Meski bukan sesuatu yang original, tetapi gagasan tersebut memaksa saya juga mesti berpikir banyak. Sebab ada banyak hal juga yang kalau ini benar diperlakukan akan menimpa saya, setidaknya dalam peran ganda saya; guru sekaligus Ayah dari anak-anak yang nantinya terkena kebijakan pak mentri ini.

Dari Kompas.com dijelaskan bahwa alasan pak Mentri sangat mulia, yakni ; agar anak-anak dapat memperoleh pendidikan karakter lebih banyak dan tidak liar ketika orang tua mereka masih bekerja. Karena dengan sekolah hingga sore hari, anak-anak jadi berbarengan pulangnya dengan para orang tua.

Dari pernyataan ini kemudian saya jadi berpikir; pak mentri ini kan mentri pendidikannya Indonesia, yang wilayahnya dari Sabang sampai Merauke, ada daerah terpencil, desa, kota kecil hingga kota besar, dengan berjuta karakteristik problema pendidikannya. Sementara alasan yang dipakai sepertinya hanya mewakili persoalan pendidikan yang ada di kota-kota besar saja. Padahal berdasarkan kebiasaan, setiap kebijakan yang dibuat itu akan berlaku serentak dan sama di seluruh negeri. Sehingga pada kasus ini sepertinya ada banyak hal yang dilupakan oleh pak mentri.

Sebagai contoh sederhana, saya pernah tinggal di kampung, orang tua saya penyadap karet, pulang dari kebun jam sepuluh pagi. Apa dalam kasus ini saya juga mesti pulang jam sepuluh, karena pesan moralnya agar saya tetap berada dalam pengawasan, atau justru saya tetap harus pulang sore hari, supaya sama dengan anak-anak kota, sehingga saya justru kehilangan peran saya dalam membantu orang tua?

Belum lagi, anak-anak pada usia SD membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat, persoalannya apakah sekolah yang sekarang ada memiliki infrstruktur yang memadai guna memenuhi hal tersebut? Karena yang saya dengar persoalan klasik seperti tidak layaknya bangunan sekolah, minimnya sarana penunjang, kompetensi pendidik,  masih menghantui dunia pendidikan di negeri ini. Apalagi untuk membangun sarana istirahat yang memadai.

Belum lagi jika kenyataan tersebut ditambah dengan kenyataan hasil uji kompetensi beberapa waktu lalu. Hasilnya tidak terlalu menyenangkan, sebagian besar guru masih belum kompeten. Ini baru tes teori, belum penilaian secara komprehensif bagaimana seorang guru hadir di kelas. Mungkin jika tes tersebut benar dilakukan, yang kompeten jadi lebih sedikit lagi. Ini artinya, ada banyak guru yang masih ‘gagap’ di kelas. Jangankan berpikir kreatif, standar saja, belum.

Jadi jangan terlalu berharap lebihlah pada yang saat ini ada dan mengabdi. Kalaupun ada pelatihan, seringkali kajiannya hanya pada persoalan administrative, bukan hakikat dan substansi. Sehingga bisa dibayangkan semakin tersiksa saja anak-anak jika waktu sekolah semakin diperpanjang. Bosen kuadrat , karena gurunya minim inovasi !

Apa jadinya jika kemudian aktifitas sekolah hingga sore hanya berorientasi pada waktu, bukan pada substansi seperti harapan pak Mentri. Ini kan mirip seperti pegawai yang saat pulang kantor ngantri di depan mesin absen    karena sudah tidak ada yang dikerjakannya lagi, tapi mau pulang waktunya masih belum memenuhi syarat. Dalam hal ini saya jadi ingat iklan lama; buat anak kok coba-coba. @

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun