Mengajar itu seni. Bukan sekedar berdiri di depan kelas, menyampaikan materi pelajaran, selesai. Tetapi dalam prosesnya juga melibatkan rasa dan intuisi. Perlu gaya, yang mengikuti suasana kebathinan yang sedang terjadi. Tujuannya, agar suasana dinamis terjadi dan apa yang disampaikan dapat diserap dengan baik.
Di kelas, setiap hari selalu saja ada peristiwa unik, baru, dan bisa jadi itu bisa sangat menginspirasi. Namun tidak menutup kemungkinan, prosesnya sangat menjemukan, membuat amarah, juga menyebalkan. Bayangkan, setiap hari, guru harus bertemu dan menangani puluhan bahkan ratusan orang. Beragam perangai dan tentu saja latar belakang keberadaan mereka. Tetapi, disitulah letak tantangannya. Dinamika yang terjadi, suka atau tidak adalah bagian dari episode yang mesti dijalani. Menjadikannya tetap istimewa, atau tersiksa. Adalah pilihan. Memilih menjadikannya tetap menyenangkan adalah pilihan yang dapat menyehatkan jiwa dan raga. Bagi saya disitulah letak seni-nya.
Beberapa kebiasaan, efektif menolong saya dari jebakan ‘rutinitas’ mengajar. Itu bukan berarti membuat saya jadi tidak rutin mengajar, sama sekali bukan. Maksud saya, mengajar bukan sekedar proses rutinitas belaka, karena terkait dengan status  guru. Tetapi lebih dari itu, sebab ada energy yang membuat saya menikmati prosesnya. (baca juga ; guru yang senantiasa memancarkan energy).  Namun itu juga bukan berarti saya tidak mengalami kejenuhan. Karena saya pikir, kejenuhan juga adalah hal yang wajar saja terjadi. (kejenuhan itu apa?). Kebiasaan itu diantaranya adalah hal-hal yang saya paparkan berikut;.
Berusaha Menyajikan Hal Baru
Kurikulum sama, berarti materi yang sama, bukan berarti tidak ada hal baru untuk disampaikan. Menurut saya, selalu saja ada informasi, atau analogi baru yang dapat digunakan untuk ‘mendekati’ sebuah pokok bahasan. Tanpa hal tersebut, mengajar menjadi menjenuhkan bagi saya. Siswa bisa saja berganti tiap tahun, tapi saya akan kembali lagi pada materi yang sama.
Teman pernah bilang, bagi guru ilmu social barangkali lebih mudah, karena apa yang dipelajari itu dinamis, tetapi bagi ilmu pasti, hal itu akan sulit. Menanggapi hal tersebut, pikiran saya sederhana; bukankah ilmu, apapun itu bersumber dan ditujukan bagi manusia, sementara sumber dari ilmu itu dinamis. Masa iya ilmunya statis, termasuk untuk ilmu eksak sekalipun, saya meyakini pasti juga dinamis. Itu hanya masalah, mau mencari atau tidak!
Menyeimbangkan Ekspektasi dengan Realitas
Banyak guru mengeluh, merasa tertekan, ketika siswa tidak dapat mengikuti atau mengerjakan sesuai keinginan kurikulum dan guru. Awalnya saya juga begitu, tetapi lama-kelamaan saya mulai realistis berpikir.
Sebagai guru sejarah, sebuah kebahagiaan bagi saya jika nilai pelajaran sejarah siswa saya bagus semua. Tetapi kenyataan-kan tidak demikian. Padahal saya sudah merasa mengajar semaksimal mungkin, memberikan apa yang saya bisa. Selesai mengajar, siswa pun menunjukkan bahwa materi telah diserap dengan baik. Hal itu bisa ditunjukkan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana diakhir proses. Tetapi sewaktu ulangan, adakalanya hasilnya mengecewakan.
Mengatasi itu, saya mulai berpikir, barangkali ini juga bagian dari upaya menenangkan pikiran. Bahwa ketika saya mengajar, saya tidak sedang membentuk mereka menjadi seperti saya. Sehingga, ketika mereka tidak memahami seperti apa yang saya pahami, saya kira itu wajar saja. Tugas saya hanya, menyampaikan, dan memberikan gambaran pada mereka apa, mengapa, bagaimana, siapa, dimana, kapan peristiwa sejarah itu terjadi. Toh, mereka juga bebas menarik nilai dari peristiwa tersebut sesuai perspektif mereka. Jadi, tugas saya bukan mencetak, melainkan memberi perspektif. Soal nilai, itu hanya masalah angka, yang juga belum tentu dapat menentukan sukses atau tidaknya seseorang. Dengan begitu, saya jadi nyaman dan iklas saja dalam mengajar.
Membangkinkan Energi positif