Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bicara Cinta di Kompasiana

20 September 2014   12:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:09 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika mencoba mencari tahu sejak kapan ia ada, aku rasa kehadirannya jauh sebelum manusia sadar siapa sesungguhnya dirinya. Tetapi ia tak pernah kehilangan makna, kering, sehingga orang enggan membicarakannya. Ia tak pernah kehilangan keindahan untuk terus dinikmati. Barangkali keberadaannya abadi sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Tidak cukup membawa sukacita, terkadang kehadirannya juga membawa derita. Pedih, walau tak ada sayatan. menyakitkan, walau tak ada luka. Bahkan tak jarang membawa bencana, amarah, cemburu. Yah, itulah kekuatannya yang hingga hari ini tak satupun pengukur sanggup me-matematiskan angkanya. Cinta, ya itulah cinta.

Teori-teori yang mencoba menggali misterinya, terus bermunculan, mulai dari teori klasik hingga teori modern, bahkan yang paling mutakhir sekalipun. Namun tak ada teori yang mampu memberi penjelasan yang cukup tentang kehadirannya, kecuali merasakan, dan mengalaminya sendiri.

Dalam sebuah perbincangan ringan anak kos, seorang teman membuat sebuah pernyataan tentang cinta : cinta adalah cinta, apabila cinta dimaknai sebagai cinta. Sebuah pernyataan yang cukup filosofis untuk direnungkan, dan barangkali bermakna dalam. Keningku berkerut,mencoba mencari makna pada apa yang baru saja kudengar. Semua yang mendengarkan terdiam, dan dengan senang hati temanku itu menjelaskan :

“Seringkali manusia mencintai sesamanya menggunakan apa yang ada di dalam pikirannya. Sehingga acapkali pula, ia kecewa karenanya. Karena cinta yang tulus itu ternyata menjadi tirani bagi yang ia cintai.Akibatnya cinta tulus itu tak pernah menjadi cinta, melainkan derita. Kehadirannya mengekang kebebasan, menindas dan tentu saja membingungkan. Tentu cinta demikian, bukanlah cinta. Cinta barulah berarti cinta apabila cinta itu bermakna cinta bagi mereka yang dicintai”

Satu sisi aku setuju, tetapi disisi yang lain, aku bimbang. Sebab dipikiranku, jika cinta berarti demikian, itu berarti cinta menjadi cinta, sangat bergantung pada respon. Bukankah seseorang mencintai adalah akibat adanya perasaan ingin mencintai, dan baru kemudian tentunya berharap juga untuk dicintai, alamiah. Dan perasaan itu tak pernah diduga dan direncanakan kehadirannya. Lalu apakah perasaan itu bukan sebuah cinta?

Sedikit berpikir kemudian aku pun mengungkapkan sesuatu : “Cinta adalah cinta walau bagaimanapun kamu memaknainya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun