Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga demikian. KBBI mengartikan kata kekerasan dengan tindakan individu atau kelompok yang menimbulkan cedera bahkan kematian, juga menimbulkan kerusakan fisik atau barang milik orang lain. Selanjutnya KBBI juga mengartikan kata tersebut dengan tindakan yang memaksa.
Maka menurut saya, sesuai dengan konteksnya pasal dan ayat-ayat tersebut sudah sesuai dan tidak bisa disandingkan dengan logika "kalau dengan sepersetujuan boleh, dong."
Logika yang saya terapkan itu begini, semisal di sebuah jalan di tepinya terpampang papan bertulis "Dilarang Kencing Di Sini", apakah itu berati "Boleh Berak Di Sini". Tentu tidak bisa langsung diartikan demikian dong. Maka untuk mendapatkan arti sesungguhnya, saya memahami konteks papan itu. Ternyata saya dapatkan konteksnya adalah agar area sini bersih dan tidak bau. Maka akan diartikan "Jika kencing saja tidak boleh apalagi berak".
Jikalau merujuk pada tujuannya, Mendikbud disini berusaha membangun lingkungan pendidikan yang manusiawi, bermartabat dan setara. Disisi lain, mas menteri Nadiem Makarim juga mengambil statement bahwa ini untuk melindungi hak warga negaara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkelanjutan. Hal ini melihat dampak dari kekerasan seksual yang makin marak di lingkungan kampus. Dimana kebanyakan korban selalu mengalami trauma berat bahkan musti putus kuliah karena takut dikucilkan dan efek trauma lain.
Perlukah Mendikbud Merevisi PPKS?
Menurut saya tidak perlu, karena isi pasalnya sudah sesuai dengan konteks dari aturan tersebut.
Lantas bagaimana dengan perzinaan yang berasas suka-sama-suka?
Untuk urusan perzinaan ini sudah diluar konteks kekerasan seksual yang sedari awal mendasari dibentuknya PERMENDIKBUD Â ini. Disisi lain, urusan hubungan intim ini termasuk ranah privasi. Dimana negara tidak dapat mengusik atau mencampuri privasi seseorang secara langsung. Namun, ranah ini bisa saja menjadi publik pada kondisi tertentu.
Semisal sepasang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan intim. Namun keduanya bukan suami istri. Meskipun berasas suka sama suka, maka keduanya bisa saja dijerat pasal. Hal ini melihat konteks keduanya atau salah satunya memiliki suami/istri sah. Meskipun ranah privasi, karena ada pihak yang merasa dirugikan, maka ketika pihak ini melaporkan dan menggugat pasangan sah beserta selingkuhannya maka ranahnya akan menjadi publik dan bisa dihukum.
Adapun dakwaan yang bisa dibebankan kepada pasangan ini adalah pada pasal 284 KUHP dengan hukuman kurungan 9 bulan.
Beberapa waktu lalu, pasal perzinahan dan Draft RUU KUHP juga sedang ramai dibahas. Maka jika RUU ini sudah disahkan, akan semakin melengkapi permendikbud yang kontroversial ini. Tepatnya pada pasal 417 RUU KUHP yang menghukum pelaku perzinahan dengan hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal 10 juta rupiah.
Namun, lagi-lagi, karena ranah awalnya adalah privasi, maka UU ini nantinya bisa menjerat jika ada aduan dari pasangan sah atau yang dirugikan. Dengan kata lain, deliknya adalah aduan.