Mohon tunggu...
ADOLPHUS OTTOPER
ADOLPHUS OTTOPER Mohon Tunggu... Petani - PETUALANG JIWA DALAM KATA

Suka menikmati Udara Segar dalam Permenungan setiap hari

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia Normal dan Manusia Abnormal Masa Kini

17 Mei 2023   22:11 Diperbarui: 18 Mei 2023   12:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia normal adalah manusia manusia yang punya kemampuan sosial yang dibuat-buat. Kehidupannya baik kebutuhan dan keinginannya serba pasti. Semuanya harus tersistematif. Gaya hidupnya instan, hedonis, ekonomis, yang realistis, praktis, tidak mau susah, maunya enak-enak, cari perhatian, punya banyak pengikut, tidak boleh direndahkan harga dirinya dan tidak suka yang bermakna, fokus pada hari ini.

Harta adalah yang lebih berharga dari pada yang lain. Gengsi dalam menjalin relasi. Hidupnya selalu memilih. Selalu memamerkan kehebatan, kemampuannya, kekayaannya, memamerkan bahwa saya yang paling jago, paling pintar, paling hebat. Semua orientasi hidupnya mencari ketenaran dan sensasi selalu. Hidup mengutamakan diri sendiri, kelompok sendiri, keluarga sendiri serta keselamatannya.

Sedang manusia tidak normal adalah Orang gila, orang aneh, ganjil gaya hidupnya. Hidup apa adanya. Sederhana penuh ugaharian. Mengutamakan kepentingan dan kebutuhan serta keselamatan orang lain. Karakter hidupnya fleksible. Hidup lepas bebas tenang dan menikmati kenyataan yang ada. Ia tidak takut dengan masalah hari ini dan besok. Penuh fokus ketenangan, tidak mencari perhatian dan ketenaran serta sensasi. Sangat tidak suka mencari ketenaran. Makan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri. Ia siap hidup dan mati demi keselamatan orang lain. Sangat membenci egosentrisme. Prinsipnya lebih baik saya diinjak martabat saya demi kesenangan dan kebahagiaan oranglain.

 Dalam pergaualannya tidak memilih siapa sesamanya dan mau bergaul dengan siapa dan apa saja. Reflektifitas, epochetifitas, adalah makanan hidup dan nutrisinya. Hidup dalam ketenangan penuh bermakna. Hidup selalu memaknai dan mengartikan segala sesuatu yang dialaminya. Tidak suka marah, menentang yang berbeda, merima semuanya dan memiliki kemampuan untuk diam dan merenungkan serta menyimpan semunya yang bertentangan itu dalam hatinya.

Ia juga selalu mengutamakan Tuhan sesama dan alam semesta. Punya kemampuan untuk mengikuti dan meleburi dirinya dengan kemauan dan kehendak Mahakuasa juga alam semesta atau cosmik. Ia juga punya kemampuan berdamai dengan keberbedaan hidup alami dan selalu mengutamakan keutamaan keutamaan hidup ilatif. Baginya penderitaan adalah aktifitas yang sakral. Moralitas adalah aturan main yang sangat suci mendukung permurnian jiwa yang sesungguhnya.

Ia sealau punya kerinduan menjalin relasi dengan orang-orang yang tidak dianggap: terinjak martabatnya, marginalif, miskin, pelacur, penjahat, tidak tahu diri, bodoh, minder, orang pencuri, penipu, dan sebagainya. Sangat suka dan bahagia hidup bersama bahkan makan minum dengan orang-orang tersebut.

Sangat jelas kedua bentuk gaya hidup manusia yang sudah digambarkan tadi. Sekarang pertanyaa bagi kita: untuk apa kita menjadi manusia bila sangat hobi mencintai diri sendiri? Untuk apa hidup bersama yang lain? Apakah kenyataan hidup ini harus dilawan dengan cara berontak, menghabisi, meniadakan, demi kepuasan egosentrisme saya?

Perlu diketahui bahwa apa yang saya punya adalah sarana bukan tujuan. Tujuan hidup saya adalah menerima semunya, melibatkan semunya, mengadakan apa yang dirasa perlu secara kreatif dan reflektif. Baginya yang paling penting adalah sesama. Baginya sesama adalah dirnya sendiri. Ia rela mati demi kebahagiaan dan kepuasan oranglain dan membenci imbalan atau balas Budi sesama. 

Demikian pemahaman manusia normal dan tidak normal. Masih banyak uraian dan pemahaman reflektif ya namun karena keterbatasan literasi dan informasi reflektif mendalam. Saya sangat terbuka bagi semua masukan kritik saran untuk sesuatu yang baik bagi diriku. Semoga....sekian dan terimaksih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun