Mohon tunggu...
JUBAEDAH HARYANI
JUBAEDAH HARYANI Mohon Tunggu... Penulis - Blogger dan Penulis

Penulis eksploratif, inovatif, dan terbuka untuk ide-ide baru

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Siapa Pun Boleh Pergi, Asal Bukan Ibu

1 Januari 2025   15:41 Diperbarui: 1 Januari 2025   18:19 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak sedang merawat Ibunya (Freepik/jcomp)

Kala itu, aku adalah seorang anak kecil yang selalu menggenggam erat tangan Ibuku saat takut disuntik oleh dokter. Tangan itu terasa hangat, kuat, dan selalu memberi rasa aman. Sekarang, tangan yang dulu kugenggam erat mulai rapuh. Pelan-pelan, peran kami bergeser. Aku, yang dulu dirawat Ibu dengan penuh cinta, kini mencoba menggantikan perannya, merawat beliau dengan hati-hati.

Pernahkah kamu mengalami fase ini? Mengantar orangtua ke rumah sakit, bolak-balik mengurus administrasi, tanda tangan berkas sana-sini, mendengarkan penjelasan dokter, dan semuanya dilakukan sendirian? Kalau iya, izinkan aku mengatakan, kamu hebat! Iya, kalimat itu pula yang sering kuucapkan pada diriku sendiri.

Setahun lalu, hidupku berubah drastis. Di penghujung tahun, waktu seperti melambat ketika aku melihat Ibu terkulai lemah di hadapanku. Tubuhnya diam, wajahnya pucat, napasnya berat. Aku berusaha keras untuk tetap tenang, tapi jujur saja, hatiku hancur berkeping-keping.

Malam itu, kami buru-buru membawanya ke rumah sakit. Di perjalanan, aku terus memanggil namanya, berharap ada respons, sebuah gerakan, suara, atau sekadar helaan napas yang terdengar lebih lega. Namun, tak ada. Keheningan malam itu terasa menyesakkan. Rasanya seperti udara di sekitarku habis diserap oleh rasa takut.

Sesampainya di UGD, para dokter dan perawat langsung mengambil alih. Aku hanya bisa berdiri di luar, menatap pintu yang tertutup rapat. Pikiranku kalut, bertanya-tanya, “Bagaimana hidupku tanpanya?” Namun, malam itu, aku sadar, akulah yang harus menjadi tameng untuk menjaga Ibu.

Melihat orang yang kita cintai terbaring lemah adalah salah satu rasa sakit terdalam yang pernah kurasakan. Saat kugenggam tangannya, aku menyadari betapa banyak hal yang telah berubah. Dulu, tangan itu kokoh, selalu menjadi pelindungku. Kini, tangan itu lemah, dingin, dan hanya bisa kugenggam erat sambil berbisik dalam hati, “Tuhan, tolong, jangan ambil beliau dariku.”

Ketika dokter keluar dengan sederet pertanyaan, aku menjawab sebisaku, meski suara ini gemetar. Rasa takut menguasai, tapi aku tahu, aku tidak punya pilihan selain mencoba kuat.

Malam itu, Ibu akhirnya stabil. Namun, kami harus menjalani rangkaian pemeriksaan panjang. Aku duduk di bangku rumah sakit, menatap langit-langit sambil berusaha menenangkan pikiran. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.

Hari-hari berikutnya adalah perjalanan berat yang menguji segalanya, baik fisik maupun mental. Aku harus mengatur jadwal check up, menemani pengobatan, memandikan, memakaikan pakaian, menyuapi, dan memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Di setiap langkah, aku belajar satu hal, tidak ada yang pernah benar-benar siap kehilangan orang yang mereka cintai. Meski tahu itu tak terhindarkan, hati kita tetap menolak untuk menerima kenyataan tersebut.

Ada malam-malam di mana aku menangis diam-diam, merasa tidak cukup kuat untuk melalui ini. Namun, cinta pada Ibu memberiku kekuatan. Setiap kali melihatnya tertidur, aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, tolong beri kami lebih banyak waktu untuk bersama.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun