Saat orang lain merayakan 17 Agustus dengan semangat penuh, berpartisipasi dalam berbagai lomba seru dan keceriaan yang mengisi jalan-jalan kampung, kampung halamanku justru sepi.
Tidak ada bendera yang berkibar atau hiasan 17-an di setiap gang, tidak terdengar suara riuh anak-anak berlomba balap karung dan tidak ada tawa canda yang biasanya memeriahkan lapangan desa.
Apa yang salah?
Sebenarnya, tidak ada yang salah. Namun, kenyataan bahwa 17 Agustusan sekarang terasa berbeda dari dulu bikin hati ini sedikit rindu.
Rindu masa-masa di mana semuanya kompak, mulai dari ibu-ibu yang gotong royong menghias bendera untuk dipasang di gang atau jalan-jalan desa.
Bapak-bapak yang sibuk menyiapkan acara perlombaan, hingga anak-anak kecil yang antusias mengatur strategi untuk lomba makan kerupuk, balap karung, hingga lomba memasukkan kelereng dan banyak lomba seru lainnya. Semua itu sekarang hanya tinggal kenangan.
Mungkin kamu juga merasakannya?
Kenangan 17 Agustusan di kampung halamanku dulu selalu menjadi cerita seru yang diingat sepanjang tahun. Namun sekarang, entah kenapa, suasananya terasa sunyi.
Mungkin karena banyak warga yang merantau atau mungkin karena pandemi kemarin yang menghentikan banyak kegiatan, membuat kebiasaan itu sulit untuk dihidupkan kembali.
Tapi, apakah ini berarti semangat 17 Agustusan hilang?
Tentu saja tidak! Semangat itu masih ada di dalam hati, meskipun mungkin tidak lagi dirayakan dengan cara yang sama.
Mungkin perlu menemukan cara baru untuk merayakannya, tidak harus dengan lomba-lomba besar atau pesta rakyat.Â
Cukup dengan berkumpul bersama keluarga, mengenang perjuangan para pahlawan atau sekadar memasang bendera di depan rumah sebagai tanda penghormatan.