Setiap kali kita berkumpul dengan keluarga besar atau bertemu teman lama, ada beberapa pertanyaan template yang hampir pasti muncul. "Kapan nikah?", Kapan punya anak?", "Kapan kerja?" atau"Kapan lulus?". Pertanyaan-pertanyaan ini, meski terdengar biasa dan sering kali dianggap sebagai bahan bercanda atau tanda perhatian, sebenarnya bisa sangat memberatkan dan menambah tekanan sosial pada orang lain. Saatnya kita menghentikan kebiasaan ini dan mulai memahami dampak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mengapa pertanyaan ini bermasalah?
1. Menambah tekanan sosial
Pertanyaan seperti "Kapan nikah?", "Kapan punya anak", "Kapan kerja" atau "Kapan lulus?" sering kali muncul dengan harapan tertentu, seolah-olah ada jalur hidup yang harus diikuti oleh semua orang. Padahal, setiap individu punya perjalanan hidup yang berbeda dengan tantangan dan tujuan mereka sendiri.
Setiap orang punya timing yang berbeda untuk mencapai tujuan hidup mereka, seperti menikah, memiliki anak, mendapatkan pekerjaan atau lulus dari pendidikan. Jangan terburu-buru atau membandingkan diri dengan orang lain, karena perjalanan hidup setiap orang berbeda, tantangan dan kesempatannya pun beragam.
2. Mengabaikan keberhasilan lain
Saat kita terus-menerus menanyakan kapan seseorang akan mencapai pencapaian tertentu, kita sering kali mengabaikan keberhasilan lain yang mungkin lebih berarti bagi mereka. Misalnya, seseorang yang baru saja memulai bisnis kecil-kecilan mungkin merasa bangga dengan langkah beraninya, meskipun bisnis itu masih dalam tahap awal.
Mengukur keberhasilan seseorang hanya berdasarkan satu standar tertentu bisa membuat kita mengabaikan pencapaian yang sebenarnya penting bagi mereka. Memberikan apresiasi atas berbagai bentuk keberhasilan, sekecil apa pun, akan membantu orang merasa dihargai dan didukung dalam perjalanan hidup mereka.
3. Meningkatkan stres dan kecemasan
Bagi banyak orang, pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan kerja?" atau "Kapan lulus?" bisa menjadi sumber stres dan kecemasan yang signifikan. Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali mengingatkan mereka akan target yang belum tercapai atau situasi yang mungkin di luar kendali mereka.
Misalnya, seseorang yang masih berjuang mencari pekerjaan akan merasa semakin terbebani dengan pertanyaan tentang kapan dia akan bekerja, alih-alih merasa termotivasi, orang tersebut mungkin justru merasa gagal dan tertekan. Terus-menerus menghakimi atau menekan orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga hubungan sosial mereka.
Yuk, mari kita tinggalkan kebiasaan ini!
Sadar bahwa pertanyaan seperti "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan kerja?" atau "Kapan lulus?" bisa berisiko, merupakan langkah awal yang penting. Lebih baik alihkan percakapan ke topik yang lebih positif dan mendukung, seperti menanyakan hobi, minat, kesibukkan atau kegiatan sehari-hari mereka.
Daripada menanyakan kapan seseorang mencapai pencapaian tertentu, lebih baik tanyakan kabar mereka atau kesibukkan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Fokuslah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, bukan hanya pada pencapaian yang terlihat.
Mari kita dukung dan hargai perjalanan hidup setiap orang
Ingatlah bahwa setiap individu memiliki jalan hidup yang berbeda. Berikanlah dukungan pada langkah-langkah mereka dan hargai proses yang mereka alami, tanpa terlalu fokus pada hasil akhirnya. Ubah kebiasaan bertanya "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan kerja?" atau "Kapan lulus?", karena hal ini dapat menciptakan tekanan dan kecemasan pada kondisi mental orang lain.