Malam itu, Adinda baru saja selesai membereskan kamarnya. Ia baru pindah ke rumah kontrakan tua ini tiga hari lalu bersama suaminya, Raka. Rumah itu memang sedikit menyeramkan, apalagi dengan perabotan antik yang tertinggal. Salah satu yang paling mencolok adalah cermin besar di sudut kamar mereka. Bingkainya berukir naga dan warnanya keemasan, tetapi usianya tampak sangat tua, dengan beberapa bagian kacanya yang retak halus. Â
Adinda menatap cermin itu sambil tersenyum kecil, memperhatikan pantulan dirinya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Ketika ia beranjak menjauh, dari sudut matanya, ia merasa bayangannya di cermin tetap berdiri diam, menatapnya. Ia menghentikan langkah, menoleh kembali, tetapi semuanya tampak normal. Â
"Ah, mungkin cuma perasaanku saja," gumamnya, berusaha menenangkan diri. Â
Namun, malam itu, Adinda tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa seperti ada yang memperhatikan dari sudut kamar. Setiap kali ia membuka mata, pandangannya selalu tertuju ke arah cermin itu. Â
Keesokan harinya, Adinda bercerita kepada Raka tentang cermin itu. Namun, Raka hanya tertawa kecil. Â
"Cuma cermin, Din. Kamu mungkin terlalu capek, makanya jadi mikir yang aneh-aneh." Â
Adinda mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu. Ia sibuk membereskan rumah, tetapi setiap kali ia melewati cermin itu, ia merasa merinding. Ada sensasi dingin yang aneh setiap kali ia berada di dekatnya. Â
Menjelang sore, ketika Adinda tengah menyapu lantai kamar, ia mendengar suara samar. Seperti seseorang berbisik, tetapi sangat pelan hingga hampir tidak terdengar. Ia berhenti, memegang sapunya erat-erat. Â
"Din..." Â
Adinda membeku. Suara itu jelas memanggil namanya. Ia menoleh ke cermin, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya pantulan dirinya yang terlihat sedikit buram. Â
"Siapa di sana?" tanya Adinda dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban. Â