Lebaran tahun ini Amak semakin banyak protes, semakin banyak sandek atau malah tasandek. Amak sedari mudanya memang dikenal tukang protes, tukang tidak setuju, ma nan indak sanang dan ndak katuju diati pasti diutarakannya saat itu juga, cungreng versi Kang Anang yang Sundanis.
Sandek amak bisa soal apa saja, dari mulai anak-anaknya yang terlampau asyik malala sampai lewat magrib, atau tak memakan dan menghabiskan lauk dan teh manis yang beliau buatkan. Dan hebatnya sampai umur mendekati kepala 4Â seperti sekarang, amak masih memperlakukan aku seperti itu. Kadang saking rajinnya belum lagi muadjin mengumandangkan adzan shubuh , amak sudah siap dengan air hangat buatannya untuk anaknya. Mesti diminum saat itu juga, saat air buatanya masih hangat. Dan kalau aku menolak tawarannya, beliau berpikir aku tidak mau makan lagi dirumahnya, dengan alasan lebih memilih makan dirumah uni-uni disebelah.
Sandek amakpun bisa menyangkut soal adat, soal keputusan Penghulunya menyangkut diri dan anak-anaknya. Bahkan seringkali menyangkut pemerintah yang seenaknya menyerobot tanah pusako untuk pembukaan jalan raya.
Tapi lebaran kali ini, pada saat makan malam, amak sandek,tasandek dengan beras raskin. Beras pembagian pemerintah yang diterima, tepatnya dimintanya dari pak Lurah diujung-ujung ramadhan lalu di Kantor Lurah. Sebagai alumnus penjual beras di Pasar Bawah Bukittinggi dan sempat meng icip masa kejayaan menjual beras dalam jumlah besar ke Pekanbaru, sambil menyantap nasi, amak dengan nada sandeknya berbicara padaku, apa sebenarnya tujuan pemerintah memberi rakyat raskin yang banyak batunya dan cepat basi jika dimasak. Katanya lah ampek kali den cuci, batuno ado juo baru. Apo pemerintah ka mambunuah rakyek no? (sudah empat kali aku cuci, batunya masih saja ada.Apa pemerintah bermaksud membunuh rakyatnya ? )
Walaupun makan amak tak seberapa lagi, tak cukup segenggam tangan katanya, tapi jika aku lihat amak tetap memakan nasi dari raskin itu. Berbeda dengan diriku yang masih mempedulikan kesehatan, dengan membelalakan mata besar-besar , satu demi satu aku sisihkan batu kecil dari nasi sebelum ku suap.
Selepas makan, aku menginap-inapkan sandek amak kali ini. Aku pikir benar juga kata amak. Isi kata yang tidak bisa diungkapkan amak dengan bahasa yang makan bangku sekolahan adalah adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Si miskin masih saja diperlakukan secara berbeda dengan yang mampu. Bahkan beraspun masih diberi embel-embel miskin. Melalui raskin, kata miskin bahkan mesti dikunyah, ditelan, masuk perut sampai dikeluarkan lagi. Tak juga hilang, tak ubahnya sebuah tanda lahir. Lalu mengapa tidak diberi saja beras yang bagus ? aku menduga-duga jawabannya, yang berkategori miskin saja bisa dimainkan apa lagi beras yang diluar kategori itu.
Menjelang tengah malam, teman lamaku datang, dia bercerita kerjaannya membawa minyak tanah bersubsidi didalam drum-drum lalu dibawa dengan truk dari Bukittingi ke Pekanbaru. Bisa dua kali dalam seminggu, karena di Pekanbaru harganya jauh lebih tinggi. Melibatkan orang berpangkat, depot minyak tanah, dan saweran di titik-titik pemeriksaan. Berbeda dengan Urang Sumando (Ipar) ku yang berterenak Jangkrik. Ketika dijual ke Pekanbaru tapi justru harganya jauh lebih rendah.
Lebaran tahun ini, sandek amak cukup beralasan. Untung Amak sudah tertidur pulas, kalau belum tidur bisa jadi amak tambah sandek mendengar cerita kawanku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H