Mohon tunggu...
Juan Fransiska
Juan Fransiska Mohon Tunggu... -

Tegur sapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tsunami dan Wisata Surfing di Katiet Mentawai

14 Maret 2013   10:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:47 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca berita potensi megathrust 8,9 SR disekitar pantai barat Sumatera yang dapat memicu tsunami, khususnya di Kepulauan Mentawai, seolah mengembalikan ingatan pada masa 5 bulan saya tinggal disana, tepatnya di Dusun Katiet Desa Boshua. Selain dikenal dengan tsunami, Kepulauan Mentawai dikenal juga dengan ombaknya yang tinggi, kuat dan panjang. Salah satu ombak terbaik itu ada di Katiet. Menjadikanya sebagai surga bagi para surfer dari segala penjuru dunia. Para surfer seolah tak gentar dengan tsunami yang bisa terjadi kapan saja.

Kalau tak salah ingat, Katiet terletak di ujung Tanjung Pengharapan yang memisahkannya dengan pusat Desa Boshua. Sebuah Tanjung yang tak akan pernah saya lupakan, karena disitulah pertama kalinya melintasi ombak setinggi atap rumah dengan perahu bermesin tempel diatasnya. Katiet sendiri merupakan sebuah dusun kecil, letaknya memanjang di garis pantai berpasir putih. Menghadap langsung ke lautan lepas, tanpa penghalang alam, seperti perkampungan dipedalaman Siberut yang masuk ke ulu sungai dan menjadikan hutan mangrove sebagai benteng alami pertahanan tsunami.

Katiet selalu menyambut penduduk atau tamunya dengan suara dentuman ombak dikarang pantai. Suara dentuman ombak itu terdengar lebih keras dikesunyian malam. Saking kerasnya, terdengar sampai rumah penduduk di ujung dusun.Dimalam hari suara deburan keras ombak itu  terdengar  menakjubkan seperti orkestra membelah kesunyian Katiet. Tapi sering kali bagi pendatang, yang muncul adalah paranoid,   karena tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk  membedakan  apakah  suara itu tetap  deburan ombak atau hantaman gelombang tsunami. Satu sampai dua bulan pertama, setiap malam selalu saya lewati dengan sikap seperti itu, selanjutnya adalah” kepasrahan” belaka. Apalagi jika melihat sejarah kebelakang tsunami tidak saja hanya sebuah isu, tapi fakta yang pernah terjadi jauh beratus tahun sebelumnya.

Dimalam hari , biasanya untuk penerangan dan menonton televisi, penduduk dengan kategori mampu, mengunakan mesin diesel sebagai penganti listrik PLN. Sedangkan lainnya, mengunakan patromak atau lampu minyak. Berdasarkan pengalaman saya, seperti umumnya orang Mentawai, penduduk Katiet, sangatlah ramah dan terbuka terhadap tamu yang datang ke dusun.

Spot ombak Katiet, letaknya tidak jauh dari bibir pantai. Biasanya para surfer memiliki dua cara untuk sampai dan menunggangi ombak Katiet. Pertama, bagi para surfer yang berangkat ke Mentawai dengan mengunakan kapal pesiar pribadi ataupun sewa, mereka cenderung membuang jangkar tak jauh dari spot ombak. Baru kemudian para surfer meloncat kelaut dan mengejar ombak. Surfer tipe ini lebih banyak beraktivitas diatas ombak dan kapal pesiar, lalu setelah dirasa cukup melanjutkan perjalanan ke spot surfing lainnya di kepulauan Mentawai. Kedua, bagi para surfer backpaper yang datang dari Muara Padang dengan mengunakan perahu/kapal umum, biasanya mereka akan melanjutkan perjalanan dari Sipora ke Katiet dengan menyewa perahu mesin tempel milik warga. Mereka menuju satu-satunya penginapan milik warga di Katiet. Penginapan ini letaknya tepat di bibir pantai menghadap spot ombak Katiet. Disanalah para surfer biasanya menginap. Dan dari titik pantai itu pulalah mereka turun mengejar ombak. Sekitar 100 meter dari penginapan milik penduduk, tahun 2006 sedang dibangun sebuah hotel mewah yang di kelola oleh pihak asing. Hal ini menegaskan dunia parawisata telah benar-benar masuk kedalam kehidupan penduduk dusun Katiet.

Penduduk Dusun Katiet dan dusun tetangga dalam wilayah Desa Boshua, sadar betul bagaimana memanfaatkan potensi wisata yang dimilikinya. Penduduk mulai bergiat menghasilkan dan mencipta kerajinan lokal untuk dijual kepada para surfer dan tamu yang datang. Waktu berada disana sekitar tahun 2006, penduduk dusun yang bergiat dalam bidang kerajinan, bergerak dan berproduksi seadanya dan secara kelompok belum di organisir, baik secara mandiri maupun oleh pihak luar_pemerintah. Di dua dusun tersebut belum ada satupun lapak/sangar yang secara khusus dapat dijadikan sebagai sentra bagi kerajinan produksi dusun. Penduduk masih mengusahakan semuanya dalam skala rumahan dan sangat terbatas, baik dalam segi desain dan jumlah produksi.

Untuk menjual dan memperkenalkan hasil produksi kerajinannya, penduduk dusun memiliki cara yang tidak konvensional. Pada saat musim ombak datang, dan kapal pesiar menurunkan jangkar tak jauh dari ombak Katiet, dengan mengunakan perahu sampan, penduduk mendekati kapal pesiar. Diatas kapal pesiar itulah banyak para surfer yang dijadikan sebagai market produksi kerajinan mereka. Aktivitas jual beli ini sepintas lalu mirip pasar terapung, tapi yang ini diatas laut. Transaksi tidak saja dilakukan dengan sistem uang, tapi juga dengan sistem barter. Barang kerajinan, berupa miniatur perahu- atau perahu sunguhan-, topeng kayu, gelang, kalung manik-manik dan lain-lain ditukar dengan barang-barang berbau Surfing. Mulai dari celana surfing, kaca mata, baju, sepatu, papan surfing yang nilainya disepakati oleh kedua pihak. Bayangkan dengan mengunakan bahasa apa, kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli dan barter? Dan terbukti, tampaknya perbedaan bahasa tidak menjadi kendala dalam kontak budaya tersebut.

Waktu itu ada sedikit keresahan dengan model transaksi yang dilakukan penduduk lokal.Pihak tertentu menilai model transaksi yang dilakukan penduduk lokal telah meresahkan para surfer diatas kapal pesiar. Menurutnya telah terjadi sedikit pemaksaan dalam transaksi jual beli dan barter. Pada saat itu saya curiga, bahwa isu ini dihembuskan untuk kepentingan pihak tertentu saja yang belum tentu kebenaranya dengan dalih menertibkan dan menata rumahkan proses jual beli. Karena faktanya, pada saat yang bersamaan, saya melihat aktivitas jual beli dan barter tersebut terpampang disalah satu majalah surfing berbahasa Inggris. Artinya pihak luar melihatnya sebagai keunikan yang menambah daya jual potensi wisata Katiet.

Berdasarkan pemahaman saya, persoalan ini sesungguhnya merupakan cerminan belum adanya infrastruktur wisata untuk Katiet. Terutama fasilitas pelabuhan kecil untuk sandar kapal pesiar. Diharapkan dengan adanya pelabuhan kecil, surfer dengan kapal pesiar dapat singgah dan memberi kontribusi pada gerak ekonomi dan industri parawisata Katiet. Tapi bagi sebagian penduduk lain, fasilitas ini justru dinilai cukup berat diwujudkan untuk ukuran sebuah dusun selevel Katiet. Bagi penduduk, yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dibangunnya sebuah tonggak beton di tempat yang dinilai layak secra teknis sebagai tempat menambatkan kapal pesiar.

Pilihan ini memberikan dua keuntungan. Pertama hal ini memungkinkan keberlanjutan sistem transaksi jual beli dan barter dipertahankan, tentunya dengan melihat kembali relasi yang terjadi pada proses transaksi. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi keresahan terhadap model transaksi yang dikembangkan penduduk lokal. Kedua ; sekaligus menjadi lebih ramah lingkungan dan menjaga volume ombak. Dengan tidak diturunkannya jangkar, secara otomatis terumbu karang sebagai sebuah ekosistem dapat terpelihara dan tidak rusak. Dan dengan sendirinya volume ombak yang menjadi magnet para surfer datang ke Katiet akan tetap dapat dipertahankan. Selain itupun terumbu karang yang baikpun, dipercaya berperan dalam membantu mengurangi kekuatan serangan tsunami pada saat menghantam daratan.

Sebelum saya meninggalkan Katiet, untuk mewujudkan ide tersebut, penduduk berharap banyak dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Coral Map dan juga Surf Aid yang juga beraktivitas di Desa Boshua. Tapi sayang, sampai saat ini saya tidak memiliki informasi lanjutan, apakah rencana tersebut dapat diwujudkan. Apalagi tahun 2010 lalu, Katiet dan Boshua, pada akhirnya tak dapat menggelak dari gelombang tsunami. Terakhir mendengar kabar dari seorang teman yang bekerja untuk salah satu media lokal disana, hotel megah yang baru dibangun itupun akhirnya luluh lantak  diterjang gelombang tsunami. Kali ini, pastinya penduduk belajar banyak lagi tentang diri dan lingkungannya, harapannya kapasitas dan adaptasi yang dikembangkan akan lebih baik untuk menghadapi kemungkinan megathrust didepan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun