Mohon tunggu...
Juan Fransiska
Juan Fransiska Mohon Tunggu... -

Tegur sapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meminjam Kabayan untuk melihat Indonesia

5 Maret 2013   07:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini saya berpendapat, modal sosial sebagai sebuah asset tidak saja melulu berada pada kutub positif yang menguatkan suatu komunitas, tapi juga berpotensi sebaliknya. Ambil contoh toleransi yang bernilai positif dalam suatu komunitas plural, bisa jadi sesungguhnya justru menggambarkan sikap ketidakpedulian. Jangan-jangan pada posisi seperti ini sikap Kepo justru bernilai positif. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus uang nasabah Golden Traider Indonesia syariah (GTIS) yang dibawa kabur pengurusnya. Unsur trust yang dimiliki  nasabah _masyarakat terhadap nilai syariah dalam model investasi ini, justru menjadi manipulative dan tidak bernilai  manfaat bagi nasabah. Sangat bermungkinan syariahnya  tereduksi menjadi negative, karena kitaterbiasa melihat segala sesuatu secara sepotong-potong. Lalu terjadilah untrust terhadap kelembagaan perbankan.

Nah,kalau bicara yang lebih besar lagi, dalam konteks Indonesia misalnya, untuk kebutuhan kedepan, apakah kita masih berpikir menempatan Indonesia sebagai negara cinta damai yang tidak memihak?Atau jangan-jangan sudah saatnya sebagai sebuah bangsa, Indonesia mesti mencari arah lain, dengan menetapkan apa atau siapa musuh bersama kita ? misalnya saja kita menetapkan kapitalism dengan prinsip efesiensi dan produktivitasnya sebagai musuh bersama.Alasannya sistim ini cenderung mengisap dan tidak akan pernah memiliki rasa puas dan cukup.

Penjelasan sikap penolakan ini dapat dirujuk dari negara Bhutan yang tidak mengunakan indikator Produk Domestik Bruto untuk melihat kesejahteraan, melainkan mengunakan konsep Kebahagian Nasional Bruto dengan cara mengetahui berbagai keterbatasan yang dimiliki dan mengetahui seberapa banyak adalah cukup.

Dan jauh-jauh hari,kurang lebih konsep ini sudah tergambardalam pola hidup subsistensi dengan mengambil secukupnya dari alamsebagaimana  dikembangkan oleh banyak komunitas adat. Tapi sayangbagi sebagian orang, hal ini dianggap tertinggal karena dinilai tidak produktif. Gambaran lainnya dapat kita temui dari karakter dan guyonan Kabayan dengan seorang Turis Asing. Kabayan, yang cenderung dilihat “bermalas-malasan karena tidak bekerja, justru   sikapnya itu menabrak logika berpikir turis asing, yang mesti bekerja keras terlebih dahulu untukdapat “bermalas-malasan” dengan berwisata ke pelosok-pelosok negeri.

Sekarang bagaimana dengan Indonesia ? sudahkah sejahtera? sudahkah bahagia? Atau kita akan berpikir seperti Kabayan  dengan menyandarkan diri pada pengertian subjective well-being sebagai sebuah jalan tengah, yang  barangkali tidak juga terlalu ketengah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun