Mohon tunggu...
Juan Fransiska
Juan Fransiska Mohon Tunggu... -

Tegur sapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasa Aman bagi Penyintas di Pengungsian

5 Desember 2012   01:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:11 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selasa sore (4/12), dengan di guyur gerimis hujan, anak-anak penyintas bencana gempa bumi tahun 2009 disatu daerah dengan suasana perkebunan di Jawa Barat,terlihat asyik bermain bola plastik. Menyaksikan permainan bola itu, tak terlihat sedikitpun trauma dari ekpresi mereka, kecuali sebuah semangat, teriakan untuk saling berbagi bola dan keceriaan wajah kanak-kanak mereka. Anak-anak penyintas ini terpaksa hanya bisa bermain bola, ditanah emperan diantara cucuran atap rumah pengungsian. Mereka juga mesti berbagi ruang dengan tempat penampungan air bersih, toilet umum, kandang ayam, serta lubang sampah yang tampak tidak sempurna ditimbun. Tapi sore itu anak-anak tidak begitu memperdulikannya_ apa yang dalam pikiran orang dewasa dianggap sebagai sebuah penghalang_, anak-anak tetap suka cita bermain bola.

Diantara kesuka citaan itu, saya dihampiri oleh seorang bapak Penyintas yang keluar dari belakang rumahnya. Dengan mengunakan jaket bulu angsa tua, penahan udara dingin pengunungan yang mulai turun ke perkampungan. Dengan mengambil tempat disekitar anak-anakbermain bola dan setelah sedikit basa-basi, kamipun mulai pembicaraan tentang bagaimana suasana lingkungan, suasana hati dan kejelasan masa depan mereka di pengungsian setelah 3 tahun gempa berlalu.

Pada awal obrolan, saya sendiri merasa heran ketika melihat air bersih yang dibiarkan begitu saja menggelontor keluar dari bak penampungan, padahal saya lihat air itu jernih. Ketika hal ini saya tanyakan, sebut saja kepada Bapak Endang, diapun bergegas melangkah ke depan gelontoran air dengan menunjukan air ditangannya yang dipenuhi dengan endapan pasir sungai. Menurutnya, jika hari hujan seperti sekarang, biasanya air mengandung pasir yang terbawa dari hulu sungai diarah perbukitan. Dengan kondisi seperti itu, perlu sedikit waktu untuk memasukan air ke dalam bak penampungan.

Selanjutnya tanpa perlu dikorek dengan banyak pertanyaan, bapak Endang mulai berkeluh kesah tentang kondisinya dipengungsian. Beliau bercerita bagaimana ketidakpastian masa depan 35 KK penyintas di pengungsian yang sebagian besar terdiri dari kelompok rentan yakni anak-anak dan para lanjut usia dan rata-rata bekerja sebagai buruh tani dengan orang kampung yang disebut pak Endang sebagai Kapitalis. Mereka terpaksa bertahan, hidup dengan dua atau 3 KK sekaligus dalam satu rumah, karena belum ada kepastianrelokasi dari pemerintah sebagaimana yang dijanjikan. Mereka merasa diombang - ambing dalam ketidakpastian.

Tak lama kemudian muncul beberapa orang penyintas, diantara seorang bapak Lanjut usia, sebut saja Encu yang juga berkeluh kesah tentang kondisi terkini mereka dipengungsian. Tapi yang paling mngejutkan, adalah ketika Bapak Endang menyampaikan informasi, bahwa mereka merasa tidak aman berada dipengungsian, karenaselalu mendapat intimidasi dari pihak lain. Mereka percaya intimidasi itu dilakukan oleh pihak perkebunan, karena lahan pengungsian yang mereka tempati merupakan milik pihak perkebunan yang sebelumnya telah disepakati bersama pemerintah daerah sebagai lahan pengungsian.

Dari keterangan Pak Endang termasuk juga Bapak Encu yang sudah lanjut usia itu, intimidasi ditujukan agar mereka segera keluar dari lahan pengungsian yang luasnya kurang lebih 1 ha, karena pihak kebun berniat menanami kembali lahan tersebut setelah sebelumnya sempat diistirahatkan untuk diremajakan. Intimidasi bisa berbentuk perusakan rumah, pelemparan batu kepada rumah rumah pengungsian dimalam hari, yang bisa dilakukan oleh pekerja kebun atau preman-preman yang dibayar. Intimidasi yang melahirkan rasa tidak nyaman terutama rasa amanbagi penyintas inipun berhasil memecah belah pengungsian, menurut pak Encu hal ini dibuktikan dengan keluarnya beberapa KK dari pengungsian. Ketika ditanyakan bagaimana tanggapan pihak pemerintah setempat terutama desa terhadap intimidasi ini, Pak Endang menyampaikan tidak ada ketegasan dari pihak desa. Pada satu sisi tidak juga menguatkan untuk tetap dipengungsian selama belum ada relokasi dari pemerintah dan tidak bertanggung jawab apabila kembali ketempat asal didaerah rawan bencana. Tapi pada sisi lain juga memberikan gambaran mendua, karena melontarkan pikiran-pikiran tidakkah mau punya tempat tinggal di dua tempat. Endang sendiri menyampaikan buat dirinya pemberian bantuan senilai 10 sampai 15 juta itu tidaklah begitu penting, yang penting buat dirinya saat ini adalah rasa aman dan kepastian akan adanya relokasi dari pemerintah. Dan beliau menegaskan 35 KK yang tersisa akan bertahan dan tidak akan kalah dengan intimadasi yang dilakukan, karena mereka merasa tidak melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dibuat.

Diakhir percakapan, dengan semangatnya Pak Endang, masuk kembali kerumahnya, dia berniat memperlihatkan surat bukti legalitas mereka selama tinggal dipengungsian yang ditandatangi oleh pihak perkebunan dan juga pemerintah setempat. Sayapun melarangnya, tapi pak Endang tidak bergeming.Dan benar saja, tak berapa lama berselang, pak Endang keluar dari belakang rumahnya, dengan membawa dua helai kertas potocopyan. Satu surat merupakan surat pernyataan kesepakatan tentang peruntukan lahan pengungsian dari pihak perkebunan kepada wakil penyintas bencana yang juga ditanda tangani oleh pihak pemerintah kecamatan. Surat kedua adalah, surat berlogo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang intinya mengatur penggunaan lahan perkebunan untuk penyintas gempa bumi.

Dalam surat pertama terdapat beberapa kesepakatan dari kedua belah pihak : 1). pihak perkebunan akan menanami lahan pengungsian dan masyarakat pengungsian akan segera pindah setelah ada relokasi dari pemerintah, 2).pengungsi tidak akan membangun rumah permanen selama mengungsi, 3). tidak boleh melebihi batas lahan yang sudah ditentukan baik pihak kebun maupun pihak masyarakat pengungsi, 4).masing-masing pihak tidak akan melanggar kesepakatan yang telah disepakati. Ketika saya tanyakan hal ini kepada bapak-bapak yang berkumpul, adakah poin-poin kesepakatan ini dilanggar dari sisi masyarakat, jawabannya tidak ada, sambil menunjuk kegubuk mereka yang tidak perlu lagi dikomentari kondisinya.

Saya sendiri menyayangkan informasi ini baru sepihak dari penyintas, sehingga yang ada hanyalah konstruksi dari pihak penyintas terhadap dunia mereka. Belum lengkap rasanyatanpa melihat kontruksi ini dari sisi perkebunan, pemerintah dan juga masyarakat secara lebih luas. Dan sebagai orang luar yang datang hanya beberapa saat, jika apa yang dirasakan dan disampaikan penyintas ini benar adanya, kenapa pihak perkebunan tidak berpikir lebih arif dan berkontribusi lebih jauh bagi penyintas bencana gempa disekitar wilayah operasional perkebunan. Sebagai alternative jalan keluar sementara, sebelum ada relokasi dari pemerintah, pihak perkebunan bisa menginisiasi persoalan lahan pengungsian ini sebagai model community sosial responsibility mereka, dimana pihak perusahaan betul-betul berbuat bersama para penyintas dilahan perkebunan untuk kehidupan penyintas. Dan dengan demikian sebenarnya telah terjadi win win solution antara keduanya. Nilai sosial perusahaan akan terbangun, dan penyintas akan mendapat rasa aman seperti yang dibutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun