Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat yang hendak membahas Rancangan Undang-undang atau RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ketua Umum Gomar Gultom menilai pendekatan dalam RUU ini infantil alias bersifat kekanak-kanakan (Tempo, 13/11).
Gomar juga mengatakan saat ini negara-negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, kini membebaskan minuman keras. Ia mempertanyakan mengapa Indonesia justru hendak membuat regulasi yang melarang minuman beralkohol.
Atas pernyataan tersebut, patut juga jadi perhatian pemerintah terutama DPR kita agar memikirkan matang mengenai RUU larangan minuman beralkohol ini.
Ada pandangan juga bahwa melarang minuman beralkohol kalau mau adil harus melarang juga cafe-cafe yang ada di seluruh Indonesia menjual minuman beralkohol. Ada juga pandangan bahwa tidak perlu ada larangan minuman beralkohol.
Penulis juga melihat, ada juga minuman beralkohol yang dari dulu sudah jadi minuman favorit dan budaya masyarakat. Misal, di tanah batak atau orang Batak pada umumnya mengenal dan menyukai minuman beralkohol namanya tuak.
Apakah tuak yang merupakan minuman legendaris di kalangan orang Batak juga dilarang?. Tuak itu banyak dijual di warung-warung atau lapo (bahasa Batak) di setiap kalangan orang Batak di Indonesia.
Minuman tuak jadi minuman khas dan sudah biasa diminum. Apakah tuak dilarang juga?. Entar masyarakat Batak marah atas pelarangan itu karena sudah sejak dulu tuak sudah ada dan minuman biasa para orang Batak.
Jadi, patut dipermasalahkan juga RUU larangan minuman beralkohol tersebut. Pemerintah bersama DPR yang menginisiasi atau merancang hal tersebut harus hati-hati dan matangkan perancangan RUU tersebut.
Kita tak mau jadi masalah juga RUU itu kedepannya. Kita butuh kedamaian juga di negeri ini. Untuk apa terus ribut-ribut soal hal-hal kecil saja.
Karena itu, layak juga Gomar Gultom mempermasalahkan dan kontra dengan RUU larangan minuman beralkohol tersebut. DPR harus menerima masukan dan kritik yang berasal dari masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimanapun, setiap DPR bersama pemerintah membuat RUU dan mensahkanya selalu ada kontra dari masyarakat. Misalnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja waktu lalu yang dipermasalahkan juga oleh masyarakat.