Pilkada serentak tahun ini diwarnai disparitas harta kekayaan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sangat lebar. Selain ada kandidat dengan kekayaan puluhan hingga ratusan miliar rupiah, ada pula kandidat yang hartanya minus, alias memiliki utang dengan nominal melebihi hartanya.
Hasil olah data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 1.474 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dari KPK per 19 Oktober menunjukkan 12 kandidat melaporkan harta mereka minus. Jumlah yang dilaporkan bervariasi, mulai Rp. 8 juta hingga minus Rp. 3,5 miliar (Kompas.id).
Dari data ini kita bisa melihat bahwa harta kekayaan para pasangan calon tidak semuanya tergolong mampu untuk ikut pilkada. Namun, kenapa ya berani sekali dengan harta pas-pasan bahkan minus maupun rela berhutang demi sebuah pilkada.
Padahal, kita tahu pilkada itu bukan ajang coba-coba. Kita ketahui bagaimana dalam pilkada itu ada menang dan juga kalah. Kalau pasangan calon yang hartanya minus itu kalah bagaimana?. Bisa jadi stress akan melanda sehingga merugikan diri sendiri.
Dan, jika menang, bagaimana cara untuk mengembalikan uang minus tersebut?. Tentu akan ada praktik-praktik korup yang dilakukan. Itu yang sangat berbahaya dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.Â
Bagi penulis, terlalu berani para pasangan calon yang harta kekayaan minus mencoba-coba "peruntungan" dalam sebuah pilkada. Pilkada itu bukan ajang coba-coba tapi ajang untuk rakyat mendapatkan pemimpin yang terbaik buatnya.
Seakan-akan mengikuti pilkada dengan harta kekayaan minus memberikan keyakinan bagi salah satu pasangan calon untuk maju dan menang dalam pilkada. Padahal sebenarnya hal tersebut belum pasti.
Fakta ini sungguh mengejutkan sebenarnya. Keberanian mengikuti pilkada meski harta kekayaan minus. Tak terbayangkan oleh penulis kenapa hal ini terjadi.
Belum lagi, ada istilah mahar politik, ada pula politik uang dan lain sebagainya. Ini akan sangat memberikan dampak bahwa kedepannya si calon kepala daerah itu bisa berpikiran bagaimana cara untuk mengembalikan dana yang telah habis selama kampanye dan akan berusaha bagaimana agar harta kekayaan tidak minus lagi.
Baru kali ini, penulis membaca dan melihat ada seorang kepala daerah berani untuk maju pilkada dengan harta kekayaan yang minus. Biasanya, para calon kepala daerah mempunyai harta yang cukup bahkan sangat besar.
Fakta ini tentu harus jadi perhatian kita bersama juga. Memang hak berpolitik adalah hak seluruh masyarakat Indonesia. Tapi, penting hal ini jadi perhatian agar tidak jadi masalah kedepan. Â