Sudah banyak komentar dan pandangan mengenai kemarahan Presiden Jokowi waktu lalu kepada menterinya, baik dari politisi, pengamat dan masyarakat.
Kali ini perlu kita ketahui juga alasan dari sentimen negatif terhadap kemarahan Presiden Jokowi.
Dikatakan Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini dilansir dari Tempo.co, 7/7/2020, bahwa sentimen negatif itu disebabkan Pertama, popularitas pemimpin pada umumnya setelah 5 tahun menurun sehingga yang memuji-muji tidak lagi banyak.
Kedua, adalah kemarahan seperti itu disebut terkesan didramatisir. Ketiga, alasan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menghadapi keadaan krisis. Keempat, pandangan publik terhadap kepemimpinan Jokowi.
Dari sejumlah alasan itu patut juga menjadi masukan yang baik. Semoga bisa berdampak positif.
Jadikan pelajaran atau biarkan saja?
Alasan sentimen negatif tersebut, apakah jadikan pelajaran atau biarkan berlalu begitu saja? Pertanyaan ini penting buat pembenahan di masa akan datang.
Kalau dari penulis pribadi, sebaiknya alasan sentimen tersebut dijadikan pelajaran berharga dengan mengambil hal positifnya. Alasan-alasan di atas penulis baca ada baiknya, salah satunya, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemimpinnya.
Itu bisa jadi pelajaran berharga karena patut diakui bahwa pemerintah kesannya tidak maksimal dalam menangani Pandemi Covid-19 ini khususnya.
Hal itu dapat dilihat dari sistem pemberian bansos yang tidak maksimal, ada pihak yang mampu mendapatkn bansos. Pengucuran anggaran untuk insentif tenaga medis juga belum cair dan lainnya sebagaimana penulis pernah memaparkan.
Itu contoh kecil saja. Belum lagi masalah RUU HIP yang makin besar, kenaikan tagihan listrik dan lainnya. Masyarakat memang butuh kritis agar pemerintahan ini makin baik. Tanpa ada pihak yang kritis maka kita akan begini-begini saja. Monoton saja kehidupan masyarakat itu.