Dalam sebuah seminar bertema "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di era Pandemi Covid-19, Â Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin memberi pernyataan mengenai syarat pemakzulan pemimpin.
Ada tiga syarat yang dikutip beliau dari tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi:
Pertama, Ketiadaan keadilan. Din menuturkan, apabila seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.
Kedua, ketiadaan ilmu ini merujuk pada kerendahan visi terutama tentang cita-cita hidup bangsa.
Dalam konteks negara modern, menurut Din, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ketiga, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti negara kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.
Din juga menyebutkan pemerintah Indonesia tak berbeda jauh dari kondisi tersebut. Menurutnya pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional (dilansir dari CNN Indonesia.com, 1/6/2020).
Apa yang dikatakan oleh Din Syamsuddin sebenarnya tak relevan dengan situasi saat ini. Seorang pemimpin yaitu pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai cara bagaimana agar masyarakat terlindungi dan aman dari Pandemi Covid-19.
Langkah cerdas, hati-hati dan tepat dilakukan dengan memberikan bantuan sosial, perhatian berupa penerapan PSBB sampai saat ini mengenai masa new normal agar hidup kita tidak terus terpuruk sembari mengikuti protokol kesehatan.
Terkait penggodokan Perppu jadi UU dan sejumlah kebijakan lainnya memang perlu dikritisi, tetapi itu bukan bagian dari kediktatoran seorang pemimpin.