Akhir-akhir ini, salah satu yang hangat diberitakan di ruang publik seperti media online dan elektronik adalah mengenai pembebasan narapidana,terkhusus wacana napi korupsi yang ingin dibebaskan.
Kali ini, pemerintah mewacanakan ingin membebaskan narapidana korupsi yang berumur diatas 60 tahun dan sudah menjalani dua per tiga masa tahanan berdasar pertimbangan imun tubuh lemah.
Wacana itu dihadapkan pada penolakan dari sejumlah pihak, apalagi aktivis anti korupsi dan sebagian masyarakat.
Nah, adanya penolakan itu membuat Menkumham Yasonna Laoly memberikan tanggapan dilansir dari Media Indonesia.com, 5/4/2020, bahwa hanya orang yang tumpul rasa kemanusiaannya yang tidak mau membebaskan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan kondisi kelebihan kapasitas di tengah Pandemi Covid-19.
Dibalik wacana pembebasan napi korupsi dan dibalik pembebasan napi tindak pidana umum yang kita lihat saat ini, alasannya adalah rasa kemanusiaan sesuai sila kedua Pancasila. Dan dibalik itu sesuai anjuran sub komite PBB antipenyiksaan.
MENOLAK NAPI KORUPSI
Dari pernyataan Pak Yasonna tersebut demi rasa kemanusiaan memang sudah tepat adanya.
Akan tetapi, para pihak, seperti aktivis antikorupsi, ICW maupun masyarakat menolak pembebasan napi Korupsi bukan napi tindak pidana umum.
Penolakan napi Korupsi dibebaskan patut kita maklumi karena dalam pikiran masyarakat korupsi itu adalah tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime dan sulit dimaafkan.
Sama halnya seperti napi narkotika dan terorisme juga ditolak dibebaskan.
Kejahatan korupsi juga telah merenggut hak masyarakat dan merenggut rasa kemanusiaan masyarakat dimana harusnya dana anggaran negara untuk membangun daerah di Indonesia malah dicuri oleh oknum korup.