Kita tentu mengenal Hermawan Susanto (HS) yang mengancam ingin memenggal kepala Presiden Jokowi dalam sebuah video yang viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Akibat tindakannya tersebut, HS pun ditangkap oleh pihak kepolisian di Parung Bogor. Karena dari penangkapan tersebut, HS akhirnya meminta maaf kepada Presiden Jokowi dengan menulis memakai sebuah bolpen dari balik jeruji tahanan Polda Metro Jaya (detik.com,21/5/2019).
HS meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa penyesalan memang datangnya terlambat. Tak pernah kita menduga. Sudah berani berbuat, maka harus berani bertanggungjawab. Itulah namanya kesatria. Meminta maaf boleh-boleh saja, tetapi tetap proses hukum harus jalan sebagaimana sudah diatur dalam hukum di Indonesia.
Saya juga yakin Pak Jokowi akan memaafkan HS, namun bisa jadi maaf dari Jokowi tak akan menghapuskan pidana dari HS tersebut. Dia harus berani mempertangungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Kejahatan sanksinya adalah pidana berupa vonis dari pengadilan negeri yang berwenang untuk itu.
Mulutmu adalah Harimaumu
Nah, kita tak akan melupakan kata pepatah bahwa "Mulutmu adalah Harimaumu". Artinya mungkin sudah kita ketahui bahwa setiap orang harus berani menjaga kata-kata dalam berucap. Tak boleh menghina, memfitnah maupun mengancam, karena itu akan membawa pada sebuah proses hukum di hadapan penegak hukum.
HS harusnya mengingat kata pepatah itu. Jangan panas dan emosi di awal saja, ketika ditangkap polisi meminta maaf dan berharap untuk dibebaskan. Itu sebenarnya sulit untuk diterima. Ucapan dari bibirnya sudah melukai Presiden Jokowi dan juga masyarakat Indonesia karena beliau adalah simbol negara. Jadi, maaf diterima, tetapi hukum tak boleh diintervensi.
Presiden Jokowi pun dilarang untuk mengintervensi hukum tersebut. Akan tetapi, apapun itu, ya kita lihat saja bagaimana nanti kasus HS, apakah akan dibebaskan atau tidak, jika dimaafkan Presiden Jokowi.
Kita juga patut berkaca dari pernyataan Pak Moeldoko yang mengatakan bahwa pihak kepolisian harus tegas. Jika ada yang melakukan kejahatan dan meminta maaf, jangan ada lagi maaf, tindak saja!. Hal itu dikatakan beliau agar ada tertib hukum di negeri ini dan agar tidak sembarangan tata kramanya. Kira-kira begitu teman kompasianer yang Pak Moeldoko katakan beberapa waktu yang lalu di media televisi yang saya lihat dan dengar.
Kalau kita cermati, bentuk dari kata maaf HS tidak akan menghapus pidananya. Tetapi kita lihat perkembangan selanjutnya. Dan selain itu, yang paling penting lagi, ditangkapnya HS dan pelaku pengancam sebelum-sebelumnya membuat kita mengerti dan paham hukum. Paham bahwa mulut adalah harimau kita. Kita tak bisa sembarangan berujar, apalagi mengancam dan memfitnah orang lain. Kalau mengkritik tentu boleh, tetapi tidak kasar dan mengancam tentunya. Kita semua belajar dari kasus HS ini terutama pendukung yang tidak suka dengan Jokowi-Amin.
Kita harus bijak dalam berkata dan bertindak sebagai bangsa yang beradab di negeri ini. Mulut dapat menjadi petaka yang mencelakakan diri kita sendiri, jadi jangan sembarangan menggunakan mulut tersebut.
Mari kita berdamai dengan masyarakat lainnya setelah pemilu ini agar tidak ada kebencian, ancaman dan fitnah yang terjadi. Sudahi semua pertarungan di kampanye kemarin. Sekarang kita beralih pada satu tujuan yaitu membangun Indonesia dengan baik bersama pemimpin yang baru diumumkan KPU yaitu Jokowi-Amin.