Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Damai dalam Perbedaan

18 Mei 2019   12:13 Diperbarui: 18 Mei 2019   12:15 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
publicholidays.co.id

"Kata pikiran dan kata hati bisa beda. Mengapa tidak berpisah saja?"

Dalam alam yang indah ini, bisa dinikmati bersama kalau bisa saling mengisi. Merasa lebih dari lainnya, bisa menimbulkan persaingan hingga perselisihan. Sehingga kedamaian akan sirna, berganti dengan kerusuhan, yang ujung-ujungnya kepada perpecahan. Mulai dari saling menyakiti hingga membantai dan baku tikam untuk merenggut nyawa sang saudara yang menjadi musuh yang harus berdarah-darah.

Tiap insan punya selera dan rasa yang beda. Jika akuisme diri dipaksakan ke pihak yang lain bisa menimbulkan keresahan. Jangankan dengan orang lain, dalam diri pun sering mengalaminya. Sebagai contoh: saat traffic light menyala merah, secara UU lalu lintas, itu harus berhenti. Namun dirasa tidak ada aparat atau dirasa buang-buang waktu, maka akan bersegera menerobos

Perbedaan itu pasti ada. Perlu belajar sepakat dalam ketidaksepakatan dan perbedaan. Ini yang membuat hidup jadi damai. Tanpa hati yang damai, apakah bisa menikmati damai saat berdoa kepada yang Mahakuasa yang menyukai kedamaian? Apakah yang kita sedang kejar atau perjuangan di alam fana ini, akan berakhir di alam kubur. Menyemai kebaikan akan bernilai melampaui alam yang fana ini.

Memang keinginan untuk tampil di atas rata-rata atau memenuhi ambisi pribadi tanpa ada ukuran yang jelas, itu yang membuat hidup menjadi tidak tenang. Dan orang yang tidak tenang hidupnya, selayaknya jangan tergesa-gesa untuk mengambil keputusan yang penting atau menentukan.

Keberanian untuk mengaku salah atau kalah atau gagal, memanglah tidak mudah. Jepang memiliki budaya dengan harakiri atau Korea Selatan dengan bunuh dirinya. Ketika Pak Ahok atau Ketua PSI tahu melalui quick count, tidak mungkin menang atau berhasil  langsung bisa menerimanya. Budaya yang perlu diawetkan, meski tidak sengeri yang di Jepang atau Korea Selatan.

Demikian juga dalam berkeyakinan atas nama agama. Beragama itu baik adanya. Namun jika beragama dan tidak bertuhan ini yang bisa jadi legalistik. Sehingga yang tidak sepaham dianggap sebagai ancamannya. Apakah Tuhan bisa diancam oleh siapa pun ... ? Sehingga hidupnya hanya berangan-angan untuk menghancurkan yang yang tidak sepaham dengannya. Hidupnya tidak akan pernah menghidupkan orang lain.

Dengan sikap yang merasa terancam inilah, yang membuat orang jadi bertindak di luar nalar. Contoh: terancam kedudukannya di kantor, terancam pasangannya dilirik orang lain dan sebagainya. Hal ini akan membuat seseorang menutup diri dan menjaga jarak dengan yang lainnya dan bahkan melakukan penyerangan tanpa alasan.  

Berbeda itu bukanlah sebuah ancaman. Saling menghargai dalam perbedaan itu yang akan membuat tetap adanya persatuan. Perbedaan antara suami dan istri saja, kalau tidak diminimalisir dan saling menghargai akan berujung kepada pereraian. Mulai dari cerai emosi, lokasi hingga yang resmi.

Di Hari Raya Waisak 2563 pada bulan Ramadan ini, kiranya bisa menjadi cerminan untuk setiap penganutnya untuk hidup berdampingan dalam dekapan Ibu Pertiwi ini. Hidupnya bisa menghidupkan yang lainnya, karena ada kedamaian meski dalam perbedaan.

Saling menghargai dalam perbedaan, itulah yang menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang dalam bersosialisasi. Kedewasaan bukan saja masalah kognitif saja, namun perlu mengalir secara afektif dan berhilir pada psikomotor. Itulah kehidupan yang utuh.

Peringatan Waisak ini merupakan peringatan lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 SM dan wafat di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 SM. Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodh Gaya) saat usia 35 tahun (tahun 588 SM).

Berkelana menyebarkan Dharma selama 45 tahun kepada umat manusia dengan penuh cinta dan kasih sayang hingga wafatnya. Sebuah teladan akan penyadaran diri setelah mendapatkan penerangan. Itulah selayaknya yang dilakukan oleh para pemimpin umat, saat merasa telah memahami ajarannya masing-masing yang begitu mulia.-

Selamat Hari Waisak 2563 BE Tahun 2019
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga Semua Mahkluk Berbahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun