Saat kita memviralkan sesuatu yang sifatnya pribadi , sudah siapkan kita? Apakah dengan memviralkan kita akan siap dengan segala konsekuensinya? Kalau sesuatu yang baik sih tidak masalah, bagaimana kalau itu bukan sesuatu yang baik? Inilah yang menjadi pemikiranku selama ini kala melihat sesuatu yang sifatnya viral dan itu adalah sebuah aib yang sepertinya harus ditutupi.Â
Misalnya kasus selebgram yang menikah dengan seorang laki-laki yang diduga bagian dari LGBT, seorang anak yang membuka aib perselingkuhan ibunya dengan suaminya sendiri alias menantunya. Seorang wanita yang dianggap menipu seorang laki-laki dari Asia Selatan untuk dijanjikan menikah namun setelah nekat ke Indonesia ternyata tidak jadi menikah dan hanya ditipu saja.
Saat sesuatu sifatnya viral, maka ada banyak orang yang akan terkena imbasnya. Mungkin bagi yang bersangkutan , dia sudah siap mental dengan aibnya dibongkar di hadapan banyak orang, bahkan satu negara, namun bagaimana dengan orang lain, apakah mereka juga siap? Jika mereka tidak siap, maka apa yang akan mereka lakukan? Apakah mereka akan diam saja? Kenyataannya mereka tidak diam saja, namun juga berbicara untuk membela diri.Â
Kita bisa melihat kasus selebgram saat berbicara bahwa suaminya diduga penyuka sesama jenis. Hal yang berdampak sangat besar baik bagi mantan suaminya maupun pria yang diduga pasangan sesama jenis suaminya. Akhirnya suaminya berbicara dan speak up. Efeknya, borok kedua belah pihak dikuliti habis-habisan. Sepertinya berlaku prinsip, jika aku tidak bisa membela diri dan hancur, maka kamu juga harus hancur.
Hal yang sama juga berlaku dengan viralnya lelaki dari India yang nekat ke Indonesia untuk mendatangi gadis Wajo dari Sulawesi. Begitu tidak jadi menikah alias gagal, diviralkan, apakah sang gadis diam saja? Tentu tidak. dia melawan dengan memberikan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan sang lelaki dengan berbagai cara. Jika sebelumnya borok dari pihak wanita yang dikuliti habis-habisan, maka begitu sang wanita berbicara, maka borok dari pihak laki-laki India juga dikuliti habis-habisan.
Dari berbagai kasus yang viral itu tentu memberikan kita pemikiran, apakah kita siap menelanjangi diri kita sendiri saat kita berusaha menelanjangi orang lain yang mungkin merugikan kita? Instink dasar setiap orang tidak akan diam begitu saja kala namanya merasa dicemarkan, dirugikan. apalagi kalau itu orang yang punya kuasa, pasti akan melaporkan ke ranah hukum atas pencemaran nama baik. Namun, kalau dengan orang yang punya kuasa, maka saling debat di media sosial merupakan sebuah jalan keluar untuk membela diri (yang mau tidak mau pasti juga akan menyerang pihak lain dan membuka aib pihak lain).
Kasusnya tentu berbeda dengan kesaksian yang biasa saya dengarkan di gereja. Kesaksian yang sering muncul di gereja itu juga sebenarnya sebuah aib. Namun, kedua belah pihak dengan memutuskan untuk membuka aib itu karena dalam hidup mereka sendiri mengalami perubahan hidup dari hal yang buruk ke hal yang baik.Â
Misalnya seorang anak yang sangat membenci ayahnya karena tidak bertanggung jawab, kemudian sang anak mengalami pemulihan hidup secara spiritual dan mengampuni ayahnya dan memulihkan hubungan baik dengan ayahnya, maka kedua belah pihak tidak lagi melihat ke belakang  dan membuka boroknya , karena ada perubahan hidup yang terjadi. Kesaksian yang dilakukan oleh orang-orang ini, dalam iman Kristen adalah untuk memberi contoh bagi orang lain bahwa melalui Tuhan, maka apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terjadi perubahan hidup secara spiritual kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Nah, sementara kasus-kasus viral yang muncul itu merupakan sebuah aib yang tidak kea rah lebih baik, tapi air yang prosesnya terus berjalan dan terus dibongkar sehingga merugikan banyak orang. orang yang dibongkar aibnya tidak siap dan tidak ingin aib itu dibongkar. Hal yang membuat akhirnya terjadilah masing-masing membuka borok. Hal ini diperparah dengan media yang tidak akan membiarkan kasus viral diam begitu saja. Ingat, bad news is good news. Itu adalah pepatah yang pernah saya dengar mengenai media. Orang-orang yang terlibat dan berusaha diam, namun para jurnalis yang sudah pandai mendapatkan data akhirnya berusaha dengan segala cara memengaruhi pihak yang diwawancarai agar membuka masalah lebih dalam lagi. Endingnya?Â
Berbagai kasus viral yang semula saya bersimpati pada kasus tersebut, apapun itu (maklum, saya juga tidak ingin ketinggalan hal-hal yang viral karena bisa digunakan untuk menjelaskan materi Pelajaran, wkwkwkwk) tapi makin lama makin muak karena hal yang viral itu membuka banyak kebusukan yang kadangkala saya berkata dalam hati, cukupppppppppppppppppp, tidak perlu dibongkar terlalu dalam karena memalukan jadinya.
Tiba-tiba jadi teringat sebuah kisah, di quora, dimana seorang wanita ditinggalkan tunangannya mendekati hari H pernikahan dan menikah dengan sahabat si gadis sendiri karena hamil duluan. Para pembaca menjadi greget dan minta agar kasusnya diviralkan, namun sang penulis tidak mau memviralkan karena kuatir dengan efeknya di kemudian hari. Saya sendiri juga memahami dan membayangkan andaikan ini diviralkan, mungkin sakit hati sang wanita sedikit terobati karena bisa membuat malu mantan dan sahabatnya di masyarakarkan. Namun, saya juga sangat amat yakin, dua orang ini (mantan tunangannya dan sahabatnya) tidak akan tinggal diam. Mereka pasti saat dikejar-kejar oleh jurnalis, atau dimaki-maki netijen di berbagai media sosial mereka, pasti akan melakukan pembelaan, dan pembelaan itu pastilah mau tidak mau akan menyerang sang gadis dan membuka berbagai keburukan lain yang menyebabkan mereka akhirnya berselingkuh dan membatalkan pernikahan. PIhak yang terkena akhirnya tidak hanya tiga orang, tapi tiga keluarga yang berbeda. Efeknya menjadi sangat luas.