Awal tahun ini tentu kita dikejutkan oleh berita ratusan pelajar di bawah umur di Ponorogo meminta dispensasi menikah. Berita lama sebenarnya tapi masih relevan. Mengapa saya membahas hal ini? Saya selalu berpikir bahwa pernikahan di usia dini itu hanya terjadi di masa lampau atau di daerah pelosok pedalaman. Akan tetapi, di masa sekarang pun masih tetap ditemukan adanya pernikahan anak di bawah umur. Sesuatu yang bikin saya cukup terkejut.Berdasarkan aturan undang-undang no 1 tahun 2014, pria boleh menikah jika usia minimal 19 tahun, dan wanita minimal 16 tahun.Â
Namun, undang-undang ini kembali di perbarui yaitu UU no 16 tahun 2019. Isi dari UU tersebut adalah batas menikah baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama minimal 19 tahun. Tidak ada lagi perbedaan usia pria dan wanita untuk melangsungkan pernikahan. Nah, walaupun UU telah mengatur batas menikah, tapi yang namanya manusia, tentu saja ada banyak godaan. Banyak pemuda pemudi yang usianya masih usia sekolah namun tidak meneruskan sekolah sehingga mereka kemudian ingin menikah.Â
Atau hal yang paling umum adalah karena pihak sang gadis sudah hamil duluan. Hal ini berdampak harus segera dilakukan pernikahan sebagai bentuk tanggung jawab sang pacar atau lelaki terhadap pasangannya. Nah, ini tentu berdampak terhadap masa depan dari kedua belah pihak. Sebagai seorang guru sosial, saya akan membahas apa dampak pernikahan usia dini ini. Pernikahan usia dini tentu saja meningkatkan peluang terjadinya banyak kelahiran atau pronatalitas. Mengapa demikian?
Bagi pria mungkin hal ini bukan masalah besar. Mau menikah di usia berapapun, tingkat kesuburan laki-laki cenderung sama (bukan berarti kalau sudah tua kualitas sperma tetap baik, hal ini kita abaikan dulu ya). Sangat berbeda dengan wanita yang sangat dibatasi usia reproduksinya dari 14 sampai 49 tahun. Dari rentang usia subur wanita itu, tentu tidak baik jika memiliki anak terlalu muda atau terlalu tua. Para dokter sepakat bahwa usia wanita di atas 35 tahun bisa berisiko terhadap Kesehatan sang ibu dan sang bayi.
Peluang terjadinya down sindrom atau autis akan meningkat (bukan berarti semua pasti ya) , sesuatu yang harus dihindari. Sementara itu jika wanita memiliki anak dibawah 20 tahun juga berisiko terhadap Kesehatan. Hal ini disebabkan Rahim wanita belum cukup kuat untuk bisa hamil. Takut terjadi kenapa-kenapa saja. Nah, dengan Batasan itu, tentu saja batas paling umum adalah antara 20 hingga 35 tahun alias hanya 15 tahun saja wanita untuk bisa memiliki keturunan dengan cukup baik tanpa ada risiko Kesehatan yang berarti.Â
Peluang untuk memiliki anak banyak akan lebih sedikit. Tapi kalau sejak awal sudah memiliki anak dan menikah di bawah usia 20 tahun, peluang sang wanita untuk memiliki banyak anak juga akan semakin besar karena usia subur yang sangat panjang sejak dimulai pernikahan tersebut. Belum lagi secara mental, para wanita yang memiliki anak di usia sekolah, umumnya akan kehilangan masa muda mereka. Mereka akan sibuk untuk bekerja dan merawat anak, sementara bisa jadi mereka masih ingin bersenang-senang menikmati masa muda mereka.Â
Apalagi kalau ternyata mereka melihat teman-teman mereka yang belum menikah bisa kesana kesini dengan bebas tanpa memikirkan beban apa yang harus dimakan bagaimana Nasib anak nanti dan lain sebagainya. Kemungkinan perempuan untuk putus sekolah juga sangat besar begitu mereka menikah. Ya, walau pemerintah tidak melarang kalau wanita yang sudah menikah boleh untuk menikah dan memiliki anak, tapi sepertinya ada aturan tidak tertulis, terutama di sekolah swasta kalau pelajar putrinya menikah, maka mereka diminta untuk mengundurkan diri.Â
Kalau pelajar putri sudah mengundurkan diri, peluang mereka untuk melanjutkan sekolah akan semakin kecil. Memang sih ada PKBM, tapi berapa banyak yang memanfaatkan hal tersebut. Bisa jadi ada banyak yang malas untuk melanjutkan di PKBM dan fokus untuk bekerja dan mengurus anak walau masih usia sekolah. Tentu kita tidak boleh membandingkan antara pernikahan masa lalu dengan masa sekarang. Zaman sudah berbeda maka kita harus mengikuti perubahan zaman juga.Â
Zaman dulu generasi orang tua, tidak terlalu dipusingkan dengan biaya sekolah dan biaya biaya lain. Cukup diberi makan, di usia tertentu tinggal disuruh bekerja. Sementara di zaman sekarang tidak bisa seperti itu. Ada aturan dimana anak-anak harus melanjutkan sekolah setidaknya lulus SMP atau bahkan SMA. Hal ini berdampak pada peran orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga lulus sekolah. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau mengurangi pernikahan dini ini?Â
Tentu sebagai orang tua, perlu diberikan penyuluhan atau semacam informasi tentang pentingnya pendidikan yang tinggi bagi anak-anak mereka. Dengan menyadari pentingnya pendidikan, maka mereka juga akan berupaya sebaik mungkin menjaga anak-anak mereka agar tidak terjebak dalam bentuk pergaulan atau pacarana yang bisa membahayakan masa depan mereka juga. Selain itu peran sekolah juga penting untuk selalu memantau pergaulan murid-murid mereka. Sekolah dan orang tua bekerja sama untuk bisa menjaga murid murid agar bisa menyelesaikan studi mereka dengan baik.Â
Menurut saya, pelajar juga perlu diberikan semacam edukasi seks atau sejenis itu. Hal ini bertujuan agar pelajar bisa lebih hati-hati dalam berpacaran agar tidak kebablasan dan akhirnya merugikan mereka. Pelajar juga perlu diberikan informasi dampak negative jika mereka memiliki anak di usia muda.Â