Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persepsi Masyarakat Modern tentang Dukun

16 Juni 2022   14:06 Diperbarui: 16 Juni 2022   14:08 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang anda pikirkan kalau di sebuah film, seorang dukun justru menjadi seorang tokoh protagonist yang baik? Hmmmm pasti geger dunia persilatan, eh dunia media sosial Indonesia kalau melihat kasus seperti ini.

Bagi masyarakat Indonesia sekarang, menyebutkan dukun itu seperti hal yang tabu. Hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Kalau sudah tidak sesuai dengan ajaran agama, maka dukun itu pasti membawa sesuatu yang buruk, sesuatu yang membahayakan ajaran agama. Mungkin bagi masyarakat zaman dulu, atau masyarakat pedalaman, istilah dukun masih bisa diterima, tapi kalau masyarakat modern, apalagi yang tinggal di perkotaan, maka menggunakan istilah dukun adalah hal yang harus dihindari. Hal yang merugikan diri sendiri nantinya.

Mari kita lihat pengertian dukun menurut KBBI. Kalau menurut KBBI sih , dukun adalah orang yang mengobati, menolong orang sakit, atau memberi jampi-jampi dan sejenisnya. Jadi istilah dulu kan memang tidak ada dokter, yang ada adalah orang yang sakti dan memeiliki pengetahuan lebih sehingga menggunakan kata dukun untuk menolong orang. bahkan sampai sekarang di pedalaman saya rasa masih ada istilah dukun beranak, orang yang membantu persalinan (walau saya sangat yakin, isitilah ini akan hilang seiring perkembangan zaman).

Jadi menurut saya istilah dukun itu masih kata netral. Selain itu, orang jaman dulu kalau mengobati ya konteks kepercayaan masyarakat itu yang kebetulan mayoritas bukan agama samawi, atau kalaupun agama samawi, mereka sifatnya masih abangan yang mempertahankan tradisi leluhur. Kalau ada apa-apa ya langsung perginya ke "orang pintar" tersebut.

Namun, masalah menjadi muncul kala teknologi terus berkembang, dan berbagai film maupun sinetron yang ada di Indonesia mulai memposisikan orang pintar (yang bukan lulusan kedokteran, dan bukan tokoh agama) sebagai sosok antagonis yang membahayakan hidup orang lain. Sementara itu sosok yang menjadi lakon utama dan membawa kebaikan adalah sosok yang berkaitan dengan agama tertentu dan merupakan mayoritas di Indonesia.

Hal ini mengakibatkan pelan namun pasti, dalam pikiran masyarakat, sosok spiritual yang sesuai dengan agamanya (ustadz, ulama dan sejenisnya) menjadi sosok yang sangat baik dan harus diikuti. Hidup mereka tidak mungkin salah dan keputusan yang diambil tidak mungkin salah karena apapun yang mereka lakukan itu pasti membawa kebaikan. Sementara itu sosok jahat itu selalu digambarkan dengan sosok orang pintar dengan penampilan tradisional, menggunakan pakaian tradisional yang menunjukkan keterkaitan dengan masa lampau.

Apakah berarti mengikuti ustadz dan ulama maupun tokoh agama lain itu salah? Ya pasti tidak , namun , masalahnya di berbagai film dan sinetron Indonesia, para tokoh agama ini selalu digambarkan dengan penampilan budaya lokal. Sementara itu, sosok orang pintar yang disebut dukun itu digambarkan sosok yang tradisional dengan busana tradisional khas suku tersebut, misalnya suku jawa atau sunda. Peralatan yang dipakai juga menggambarkan peralatan budaya setempat.

Mungkin ini hal yang sepele, tapi saya berpikir kalau terus dibiarkan maka efeknya bukan hanya istilah dukun, tapi budaya yang sudah ada dianggap sudah tidak sesuai dengan agama dan berbagai budaya termasuk pakaiannya dianggap bagian dari masa lalu yang harus ditinggalkan dan kita harus menggunakan pakaian yang modern untuk bisa melepaskan diri dari ketertinggalan itu. Untuk kasus ini , maka pakaian khas yang digunakan oleh para tokoh agama Islam dianggap yang paling baik dan perlu diikuti. Kalau orang menggunakan pakaian seperti itu di jalan misalnya, maka kita bisa langsung menganggap mereka orang yang tahu agama. Tapi kalau kita melihat orang lain dengan pakaian tradisional di jalan maka disimbolkan sebagai bentuk ketertinggalan.

Akhirnya, generasi muda akan berusaha keras untuk melepaskan diri dari warisan masa lalu dan berusaha mengikuti kepercayaan yang terakhir. Apakah itu salah? Tidak juga. Saya sih setuju-setuju saja kalau kita menerima budaya (yang berikatan kuat dengan agama) dengan melakukan modifikasi. Kita tidak bisa menerima mentah-mentah budaya yang berasal dari luar yang tidak sesuai dengan budaya yang sudah ada. Harus ada proses menyaring dan mengolah budaya yang masuk agar masih bisa diterima. Untuk menjadi seorang pemeluk agama yang baik (apapun) tidak harus kita mengikuti semuanya sama persis seperti aslinya bukan?

Dukun memang sudah tidak mungkin ada lagi, sudah diganti dengan istilah lain yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih bisa diterima. Cuma menurut saya, konsepnya masih sama. Orang pintar, entah dia menganut kepercayaan apapun , mereka memiliki kemampuan yang lebih dari orang pada umumnya dalam melihat gejala alam , baik yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat. Pada kenyataannya, dukun juga pada masa lampau memiliki posisi yang tinggi karena kehebatannya salah satunya secara spiritual yang tidak dimiliki orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun